Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Berinvestasi menjadi salah satu prioritas penting bagi Gunanta Afrima, Direktur CIMB Principal Asset Management. Bagi dia, berinvestasi bisa melindungi aset dari tingkat inflasi yang meningkat dari tahun ke tahun."Dengan begitu, kebutuhan di hari tua ataupun rencana sekolah anak bisa tetap aman," kata dia.
Gunanta mengenal investasi kala masih mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia (UI). Awalnya, ia sekadar mencoba-coba investasi di pasar modal. Saat itu, ia mencoba peruntungan dengan membeli saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) di pasar perdana pada 1996.
Saham BNI dipilihnya karena terbujuk promosi BNI yang kala itu lumayan besar-besaran. Ia bahkan rela antre membeli saham BNI di kawasan Kota dari tempat kosnya di Depok menggunakan angkutan umum. "Meski beli porsi kecil, tapi gain-nya lumayan," ujar suami penyanyi rock Nicky Astria ini.
Setelah itu, Gunanta makin tertarik dengan pasar modal. Ia makin berani mencoba memutar dana investasi pada instrumen derivatif dan exchange trade fund (ETF) yang tercatat di pasar modal Amerika Serikat (AS). Dia mengaku, bisa meraup banyak keuntungan dari hasil investasinya ini.
Namun karena sibuk, ia meninggalkan instrumen. Berinvestasi pada produk yang tercatat di luar negeri cukup menguras waktu dan melelahkan karena harus memantau pasar setiap hari. "Apalagi karena perbedaan waktu, aktivitas perdagangan harus saya lakukan pada malam hari," kata pria berumur 41 tahun ini.
Ia lantas hanya fokus berinvestasi di produk-produk investasi dalam negeri. Gunanta tertarik memilih saham-saham berkapitalisasi besar. Menurutnya, saham-saham ini lebih stabil dan cocok untuk investasi jangka panjang.
Saat krisis tahun 2008 hingga 2009, Gunanta memanfaatkan momentum anjloknya pasar modal untuk masuk ke dalam instrumen obligasi. Kala itu, harga obligasi korporasi anjlok dan laju inflasi serta BI rate dipatok di level tinggi.
Salah satu obligasi yang ia incaran saat itu adalah obligasi terbitan Grup Ciputra senilai Rp 1 miliar. Dia dan teman-temannya mengumpulkan uang sekitar Rp 80 juta untuk membeli obligasi itu di pasar sekunder. Instrumen itu ia genggam selama tiga tahun hingga jatuh tempo. "Kami untung besar karena masuk pada harga murah," kata dia.
Konflik kepentingan
Selain itu, dia juga menggenggam obligasi milik Grup Sinarmas, PT Perusahaan Listrik Negara dan Bank Global. Tapi, pilihan investasinya di obligasi tak selalu mulus. Pemilik Bank Global membawa kabur dana nasabah, sehingga utang perusahaan pun terlantar.
Toh, itu tidak membuatnya jera. Gunanta tetap beranggapan, obligasi merupakan produk yang lebih aman ketimbang saham. Selama perusahaan yang menerbitkan surat utang masih ada, utang akan dipenuhi. "Sedangkan saham, ada kemungkinan harga anjlok hingga Rp 0," papar Gunanta.
Bagi yang berminat investasi di obligasi, ia menyarankan memilih penerbit obligasi yang memiliki fundamental bagus dan berpotensi mencatat pertumbuhan kinerja. Untuk mendapatkan untung, masuk ketika harga murah.
Belakangan, Gunanta mulai melepas portofolio investasinya di obligasi. Investasi saham juga ia tanggalkan. "Sejak bergabung dengan CIMB Principal, saya melepas seluruh saham karena tak dibolehkan berinvestasi langsung karena bisa terjadi konflik kepentingan," tutur dia.
Tapi, investasi di pasar modal tak sepenuhnya ia tinggalkan. Gunanta masih memutar dana investasi di reksadana. Hanya saja, sebagian besar dana investasi kini ia tempatkan di properti karena return-nya tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News