Reporter: Anna Marie Happy | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pelemahan dollar AS merepotkan bank sentral Jepang (BoJ). Setelah Federal Reserves (The Fed) memastikan quantitative easing tahap ketiga akan bergulir, nilai the greenback pun longsor terhadap berbagai valuta, tidak terkecuali yen.
Usai pernyataan The Fed, pairing USD/JPY sempat menyentuh kisaran 77, yang merupakan level psikologisnya. Namun di penutupan perdagangan akhir pekan lalu, pasangan USD/JPY bangkit lagi dan menyentuh 78,39. Namun posisi itu tetap lebih rendah 1,61% daripada level penutupannya di hari terdahulu.
Tren terbaru di pasar valuta ini tidak menggembirakan hati para petinggi BoJ dan pemerintah Jepang. "Selama ini, perekonomian Jepang bergantung pada pasar ekspor. Bila nilai tukar yen menguat, harga produk Jepang menjadi mahal dan tidak kompetitif di pasar," tutur analis senior Monex Investindo Futures, Daru Wibisono.
Untuk mencegah situasi yang tak menguntungkan negerinya, Menteri Keuangan Jepang, Jun Azumi langsung menggertak pasar. Azumi menyatakan, Negeri Matahari Terbit itu akan intervensi untuk melemahkan yen.
Otoritas Jepang biasanya akan masuk ke pasar, saat pasangan USD/JPY sudah mendekati kisaran 77,00. Nah akhir pekan lalu, saat The Fed menyatakan akan mengguyur pasar dengan dana segar US$ 40 miliar per bulan, USD/JPY pun mengarah ke level psikologis itu. Azumi pun meminta BoJ untuk melepas yen, mengimbangi tren pelemahan pairing USD/JPY, pada 31 Oktober mendatang.
Menahan laju pelemahan USD/JPY tentu bukan tugas mudah bagi Jepang. Selain kehadiran duit baru, melalui paket stimulus, daya tarik dollar juga luntur akibat bunga acuan yang dipertahankan rendah hingga pertengahan tahun 2015.
Dalam situasi semacam itu, pemodal biasanya mencari valuta selain dollar AS, sebagai safe haven. Di masa lalu, yen dan swiss franc menjadi pilihan. "Kendati ada intervensi, yen diminati karena dianggap safe haven," ujar Daru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News