Reporter: Aloysius Brama | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Fitch Ratings Indonesia telah menetapkan peringkat BBB+ (idn)/negatif untuk surat utang yang diterbitkan oleh entitas anak perusahaan plat merah PTPP, yaitu PT PP Properti Tbk (PPRO).
Sebelumnya, PPRO menerbitkan obligasi tanpa jaminan senilai Rp 534,5 miliar yang jatuh tempo pada tahun 2022 dan medium term-note sebesar Rp 120 miliar yang akan jatuh tempo pada tahun 2022.
Dari surat utang itu, PPRO berencana menggunakan 46% dari hasil penerbitan gabungan untuk refinancing utang, 28% untuk keperluan modal kerja dan 26% sisanya untuk pembayaran pembebasan lahan dan investasi lainnya.
Peringkat negatif dari Fitch itu tak lepas dari realisasi presales pada tahun 2018 yang lemah. Selain itu strategi PPRO untuk meningkatkan pendapatan memiliki risiko besar.
“Target yang meleset bisa meningkatkan leverage sehingga PPRO harus meningkatkan pinjaman untuk mendanai proyek,” ujar analis Fitch Salman Alamsyah dalam keterangan resminya, Kamis (4/7).
Ada beberapa hal yang digarisbawahi oleh Fitch terkait dengan kinerja PPRO. Pertama, potensi perlambatan PPRO dalam penagihan beberapa proyek. Fitch menilai penagihan tunai akan tetap lemah dalam dua tahun ke depan.
“Terutama jika PPRO tidak dapat menagih pembayaran atas penjualan massal Rp 1,8 triliun pada tiga proyek perumahan bertingkat tinggi di Surabaya, yang dijual kepada satu investor,” tandas Salman.
PPRO juga bisa terbebani dengan periode pembayaran pre-sales untuk proyek tersebut yang diperpanjang menjadi 36 bulan-60 bulan dari yang sebelumnya 12 bulan-36 bulan. Rasio penagihan tunai/utang bruto PPRO turun menjadi 14% pada 2018, dari 42% pada 2017.
Meski begitu Fitch masih memproyeksikan presales PPRO bisa meningkat pada 2019 menjadi lebih dari Rp 2 triliun. Jumlah itu naik sekitar 53% dari presales yang bisa dicatatkan oleh PPRO tahun 2018 yang sebesar Rp 1,3 triliun.
“Potensi itu bisa terjadi pada semester kedua tahun ini. Memang faktor pemilihan umum serta liburan Idul Fitri agak membuat pertumbuhan PPRO melambat,” ujar Salman.
Dari sisi cadangan lahan atau landbank, PPRO masih memiliki jumlah yang memadai. Tahun lalu, PPRO membelanjakan Rp 2 triliun untuk pembelian tanah pada 2017 dan Rp 1,6 triliun pada 2018.
Beberapa cadangan lahan PPRO terdapat di beberapa proyek seperti Grand Kamala Lagoon Bekasi, Transyogi Cibubur dan Grand Shamaya Surabaya.
Meski begitu, Fitch masih menilai PPRO memiliki prospek yang baik. Segmentasi proyek PPRO yang ditujukan untuk demografi menengah ke bawah dengan harga produk di kisaran Rp 500 juta bisa mendorong permintaan untuk unit residensial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News