Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Pergerakan rupiah semakin tidak menentu dan menjauh dari kontrol Bank Indonesia (BI). Rupiah berada dalam tekanan. Pergerakan rupiah cenderung anomali, tidak peduli Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus rekor tertinggi atau dollar Amerika Serikat (AS) melemah di pasar global.
Menurut saya, salah satu penyebab rupiah melemah adalah neraca perdagangan Indonesia yang defisit. Ini membuat keseimbangan supply-demand dollar AS di dalam negeri terganggu.
Selain itu, psikologis pasar di dalam negeri juga berpengaruh ke kurs rupiah. Banyak orang menyukai menyimpan uang dalam dollar AS ketimbang rupiah karena melihat rupiah semakin melemah. Akibatnya, banyak orang enggan melepas dollar AS dan malah menabung dalam dollar AS dalam jumlah besar.
Saat ini, menurut pendapat saya, kunci pengendalian nilai tukar rupiah sebenarnya bukan cuma pada otoritas moneter melainkan di tangan pemerintah. Salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk berperan aktif dalam menjaga nilai tukar rupiah adalah dengan mempertimbangkan kebijakan yang bisa memicu cost push inflation.
Sebab, ketika nilai impor meningkat dan berimbas ke pelemahan rupiah, BI tidak mempunyai kekuatan banyak untuk mengendalikan kestabilan rupiah. Intervensi yang mungkin bisa dilakukan hanyalah melepas cadangan devisa dollar AS untuk menjaga keseimbangan pasokan dollar AS di dalam negeri.Padahal, keberhasilan menekan cost push inflation juga memegang peranan penting dalam kestabilan nilai tukar mata uang suatu negara.
Sekarang, yang harus diwaspadai adalah inflasi di bulan Juni dan Juli yang kemungkinan besar akan bergerak di luar kontrol. Terlebih kalau pemerintah jadi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, otomatis akan menekan kurs rupiah. Tapi, meski rupiah dalam tren melemah, saya rasa, pergerakannya masih dalam kendali BI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News