Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Pasar obligasi yang kurang kondusif membuat sejumlah emiten menunda penerbitan obligasi. Mereka yang menunda emisi obligasi antara lain PT Tifa Finance Tbk (TIFA), PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) dan PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Bank CIMB menunda penawaran umum berkelanjutan tahap II senilai Rp 2,5 triliun. Padahal CIMB telah menggelar public expose.
Bank ini semula mau menerbitkan tiga seri obligasi. Yaitu, obligasi seri A bertenor dua tahun dengan kupon 6,4%-7,15%. Seri B bertenor tiga tahun berkupon 6,8%-7,55%, dan seri C bertenor lima tahun dengan tawaran kupon 7,26%-8,10%. Peringkat obligasi AAA baik dari PT Pefindo dan PT Fitch Ratings Indonesia.
Hampir semua perusahaan mengaku harus menunda penerbitan obligasi lantaran kondisi pasar yang kurang kondusif. "Kami memutuskan menunda rencana penerbitan obligasi hingga waktu yang tidak ditentukan," jelas Wan Razly Abdullah, Direktur Bank CIMB Niaga, kemarin.
Dana asing keluar
Presiden Direktur HSBC Securities, Hari Mantoro, mengatakan, melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi emiten menunda penerbitan obligasi. "Kondisi market memang tidak mendukung, dana asing juga keluar sementara dollar AS menguat," kata Hari kepada KONTAN, Kamis (20/6).
Kata Hari, emiten yang menggenggam peringkat pas-pasan cenderung memilih menunda penerbitan obligasi untuk mencegah lonjakan cost of fund. Baru-baru ini salah satu perusahaan multifinance kelas menengah menunda rencana penerbitan obligasi.
Namun, Hari enggan menyebutkan identitas perusahaan itu. "Kebetulan untuk yang kami tangani belum ada yang menunda rencana penerbitan obligasi," kata Hari.
Desmon Silitonga, analis Millenium Danatama Asset Management memperkirakan, emiten terpaksa menunda penerbitan obligasi untuk menghindari cost of fund yang terlampau besar. Di tengah tekanan pasar obligasi, investor akan meminta kupon lebih tinggi sehingga membebani cash flow perusahaan. "Selain itu, ada juga perubahan rencana ekspansi membuat emiten memutuskan untuk menunda obligasi," kata dia.
Ia memprediksikan, tekanan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi berlangsung tiga bulan pasca kenaikan. Artinya, pasar obligasi bisa tertekan hingga September 2013. "Namun selanjutnya akan bergerak pada ekuilibrium baru dan yield pada ekuilibrium baru ini tentu akan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu," kata Desmon.
Saat ekuilibrium baru terbentuk, menjadi saat yang tepat menerbitkan obligasi. Sebab, volatilitas harga obligasi kembali membaik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News