Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat terus merosot sejak harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi naik, pada pertengahan November. Pada akhir pekan lalu, rupiah menyentuh Rp 12.432 per dollar AS. Keadaan ini berpotensi menekan emiten yang memiliki utang dollar AS cukup tinggi.
PT Indosat Tbk (ISAT) menyadari hal ini. Operator telekomunikasi ini mencatatkan utang dollar AS senilai US$ 850 juta. Jumlah ini setara 50% dari total utang perusahaan ini. “Tahun 2013, rupiah di Rp 12.189. Kalau melemah sampai Rp 12.400 seperti sekarang, berarti utang dollar Indosat semakin besar kalau dikonversi ke rupiah,” ungkap Andromeda Tristanto, Investor Relations ISAT, kepada KONTAN, Minggu (14/12).
ISAT merasa perlu memangkas porsi utang dollar AS agar tak terus-menerus membebani kinerja keuangannya. ISAT berniat membiayai kembali atau refinancing obligasi senilai US$ 650 juta yang jatuh tempo pada 2020.
Bukan hanya ISAT, pelemahan rupiah pun merongrong kinerja PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Akhir pekan lalu, Mantan Direktur Utama GIAA Emirsyah Satar mengingatkan, pelemahan rupiah terhadap dollar AS menjadi tantangan bagi GIA.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo Satrio menilai, pelemahan rupiah berdampak positif terhadap perusahaan yang berpendapatan dollar AS. Namun, bagi perusahaan yang utang dollarnya tinggi, kinerja keuangannya tentu terbebani.
Analis First Asia Capital David Sutyanto mengatakan, emiten yang bergerak di sektor manufaktur dan perdagangan biasanya memiliki utang dollar AS cukup signifikan. Pasalnya, mereka banyak melakukan impor.
David juga melihat, ISAT, GIAA, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) memiliki utang menggunung. Dia bilang, utang dollar BNBR mencapai US$ 650 juta.
Ada sejumlah pihak yang mengomentari jeleknya utang swasta. Bahkan, hasil stress test Bank Indonesia menyebutkan, ada enam dari 53 perusahaan yang memiliki utang luar negeri berpotensi insolvent (utang jauh melampaui aset) apabila nilai tukar rupiah melemah sampai Rp 16.000 per dollar AS. “Dalam jangka pendek, masih penuh ketidakpastian,” ujar Satrio.
Namun, dia memprediksi, pelemahan rupiah hanya akan terjadi sampai pertengahan kuartal pertama atau kuartal kedua tahun depan. Jika ada kebijakan ekonomi domestik yang positif, maka kurs rupiah bakal kembali menguat.
Sebaliknya, David justru memprediksi, rupiah terus melemah di tahun depan. “Jika The Fed menaikkan suku bunga, rupiah akan terhajar lagi,” ucap dia.
David memproyeksikan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di akhir 2015 berkisar Rp 12.500 sampai Rp 13.000. Koreksi ini memang tak terlalu buruk.
Angka itu bisa dicapai jika pemerintah mampu mengendalikan kebijakan nilai tukar. Kebijakan pemerintah maupun otoritas diharapkan tak hanya melalui suku bunga acuan (BI rate), namun juga Giro Wajib Minimum (GWM).
Satrio menghitung, rupiah memiliki posisi resistance Rp 12.500 sampai Rp 12.700 dalam jangka panjang. Adapun, di jangka pendek, angka psikologisnya di level Rp 12.500. Ini adalah level psikologis yang tak ditembus sejak krisis moneter pecah.
Satrio bilang, stress test yang dilakukan BI justru bisa memancing Rupiah ke arah Rp 16.000. Tapi, ia masih optimistis, rupiah dapat menguat ke bawah posisi Rp 12.000.
Kemudian, Satrio memprediksi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dapat tutup sekitar 6.100 sampai 6.350 di akhir tahun depan. Tapi, masalahnya, saat ini belum tampak kondisi fundamental ekonomi dalam negeri yang dapat membawa pasar meningkat signifikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News