Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Sejumlah emiten perkapalan di ujung tanduk. Beban utang yang tinggi di tengah prospek industri muram menyebabkan proses restrukturisasi utang tak berjalan mulus.
Alhasil, kelangsungan usaha beberapa emiten perkapalan yang terjerat utang semakin buram. Misalnya, PT Arpeni Pratama Ocean Line Tbk (APOL). Sudah bertahun-tahun APOL berupaya merestrukturisasi utang dengan berbagai cara.
Awal tahun lalu, perseroan bersama konsultan keuangan menyusun skema restrukturisasi utang. Tapi hingga setahun berselang, APOL belum juga menuntaskan rincian skema restrukturisasi utang tersebut.
Ferdy Suwandi, Sekretaris Perusahaan APOL, mengatakan, Deloitte Indonesia, yang bertindak sebagai konsultan keuangan masih menghitung kembali skema restrukturisasi itu. Selanjutnya, baru APOL menyampaikannya ke kreditur.
"Kami sudah menyampaikan secara garis besar skema restrukturisasi tahun ini kepada kreditur, dan tanggapannya cukup baik," ujar Ferdy, Selasa (26/1).
Kendala APOL saat ini adalah, kreditur bukan hanya swasta, tapi juga BUMN. Jadi tak mudah mendapat satu suara atas skema restrukturisasi tahun ini. Saat ini, APOL belum berencana menghapus unit bisnis yang dimiliki.
Namun, untuk mengurangi biaya, emiten ini akan menjual beberapa kapal yang tak produktif. Dalam laporan keuangan kuartal III 2015, APOL memiliki utang obligasi dan wesel bayar jangka pendek Rp 2,4 triliun.
Lalu pinjaman bank Rp 1,9 triliun. Total liabilitasnya Rp 6,7 triliun. Sementara APOL mencetak ekuitas negatif atau defisiensi modal Rp 5 triliun. APOL sempat menempuh berbagai upaya untuk melunasi utang, seperti private placement atau melego kapal.
Pada tahun 2012, APOL sempat hampir terkena delisting paksa (forced delisting) karena suspensi saham tak kunjung berakhir. Perdagangan saham APOL sempat dibuka dan disuspensi kembali karena kerap terlambat membayar bunga obligasi.
Nasib BLTA
PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA) juga berupaya merestrukturisasi utang. BLTA telah mengkonversi utang menjadi saham melalui penerbitan saham baru tanpa hak memesan efek dahulu atau private placement pada Desember 2015.
Demi membayar utang, BLTA juga harus rela melepas sejumlah kapal. BLTA melepas 34 kapal pasca penutupan mandated lead arranger (MLA) pada 1 Desember 2015. Sebelumnya, BLTA masih mengoperasikan 39 kapal.
BEI telah menghentikan perdagangan saham BLTA sejak 25 Januari 2012. Suspensi itu diperpanjang pada 13 Februari 2013. BLTA berharap, perdagangan sahamnya dibuka kembali.
BLTA akan lebih dulu mengatasi defisit modal yang menjadi syarat utama agar suspensi dibuka. Sementara anak usaha PT Trada Maritime Tbk (TRAM) yakni Trada Samudera Bangsa Pte Ltd menerima surat gagal bayar utang dari krediturnya, Bank Mandiri cabang Singapura.
Trada Samudera harus membayar utang pokok US$ 13,48 juta plus tunggakan bunga dan biaya lain. Perseroan masih bernegosiasi dengan kreditur. Bukan cuma itu, TRAM masih memiliki beberapa utang yang cukup besar dari kreditur swasta lainnya.
Lucky Bayu Purnomo, analis LBP Enterprise menilai, tingginya beban operasional emiten perkapalan membuat utang juga membengkak. Apalagi, di pasar saham, kebanyakan emiten ini bukan emiten yang sahamnya likuid.
Emiten perkapalan yang mengangkut minyak dan gas, akan banyak terpengaruh volatilitas harga komoditas. Di sisi lain, perputaran keuntungan industri ini lumayan lambat. Sehingga arus kas kerap menjadi masalah.
Di sisi lain, industri ini terpengaruh fluktuasi nilai tukar. Namun, menurut Lucky, masih terlalu dini menyimpulkan kegiatan usaha emiten ini tak berlangsung lama. "Perlu dorongan dari otoritas agar emiten-emiten ini bisa melakukan aksi korporasi lagi," imbuh dia.
Di sisi lain, Wiliam Surya Wijaya, analis Asjaya Indosurya Securities, menilai, tak semua emiten perkapalan morat-marit. Beberapa emiten diuntungkan kebijakan pemerintah yang mendorong kegiatan kemaritiman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News