Reporter: Adisti Dini Indreswari | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Meski sama-sama ditambang, nasib logam mineral seperti emas, nikel, timah, dan baja kalah mentereng dibandingkan komoditas tambang lain seperti batubara. Penyebabnya, apalagi kalau bukan harga logam mineral yang fluktuatif.
Reza Priyambada, Managing Research Indo Asset Management, menjelaskan, penggunaan logam mineral sebatas industri tertentu, tidak sebesar batubara yang bisa digunakan sebagai bahan bakar energi. Itu makanya, permintaan akan logam mineral meningkat tak sedrastis batubara. Kebanyakan logam terserap sebagai bahan baku industri otomotif di Jepang dan Eropa.
Prospek emiten logam mineral menurut Reza, ditentukan harga kontrak logam dunia. Di antara logam mineral, emas yang paling menonjol karena sedang berada di harga tertingginya.
Analis Samuel Sekuritas, Yualdo Yudoprawiro, menambahkan, permintaan terbesar emas datang dari India dan China. "Yang lain fluktuatif, tapi cenderung sideways sepekan terakhir," kata dia.
Reza menilai saham emiten di bidang pertambangan maupun pengolahan logam mineral lebih cocok bagi investor dengan horizon jangka panjang. Emiten yang dimaksud seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT International Nickel Tbk (INCO), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Krakatau Steel Tbk (KRAS).
Di sektor logam mineral, top pick Yualdo adalah INCO. Memang, harga nikel fluktuatif dan masih terancam mengalami koreksi. Namun berdasarkan valuasi Yualdo, price to earning ratio (PER) INCO di bawah rata-rata sektor, sehingga layak beli.
Kinerja INCO masih akan terus tumbuh seiring beroperasinya Tambang Karabbe semester kedua tahun ini. Analis JPMorgan Securities, Stevanus Juanda, mengkalkulasi, produksi INCO bisa mencapai 90.000 ton per tahun, dibanding rata-rata 73.000 ton selama lima tahun terakhir.
Tambang ini menggunakan pembangkit listrik tenaga air sehingga akan menghemat beban INCO US$ 0,3 per pon.
Harga timah turun
Analis OSK Nusadana Research, Willinoy Sitorus, memperkirakan, harga timah cenderung turun meski suplai terbatas, dan akan memangkas laba TINS. Prediksi dia, US$ 27.500-US$ 27.000 per ton tahun ini dan US$ 26.000 per ton dalam jangka panjang.
Willinoy memprediksi, produksi TINS tahun ini relatif datar sebesar 40.000 ton karena kebijakan manajemen menggunakan cadangan.
Permintaan untuk baja juga dinilai terus meningkat. KRAS yang menggeluti industri pengolahan baja memiliki rencana membangun dua pabrik sekaligus tahun ini.
Analis Kim Eng Securities Lucky Ariesandi menghitung, rencana pembangunan pabrik chemical grade alumina (CGA) milik ANTM di Tayan bisa mendatangkan penghasilan US$ 200 juta per tahun, di mana ANTM memegang 80% saham.
Simak rekomendasi analis untuk empat emiten pertambangan dan industri pengolahan logam mineral.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News