Reporter: Ruisa Khoiriyah, Aceng Nursalim | Editor: Ruisa Khoiriyah
Kejayaan emas beberapa tahun terakhir menemui titik nadir. Harga logam mulia ini terperosok jatuh menembus level psikologis. Sampai kapan tren kejatuhan emas ini berlangsung? Inikah sinyal bagi para pemodal untuk mulai memborong emas?
Badai itu akhirnya datang juga menerpa logam mulia favorit orang sejagat, yaitu emas. Emas, yang menjadi primadona para pemodal setidaknya dalam lima tahun terakhir, kini lunglai. Mengawali pekan lalu (15/4), harga emas di pasar internasional longsor.
Kejatuhan harga emas tak tanggung-tanggung. Kontrak emas pengiriman Juni 2013 amblas 9,33% ke level US$ 1.361,1 per ons troi pada hari pertama perdagangan di New York, pekan lalu.
Penurunan itu melanjutkan tren pekan sebelumnya. Alhasil, dalam dua hari perdagangan, harga emas rontok hingga 13%. Ini merupakan penurunan harga emas terburuk dalam 33 tahun terakhir. Bahkan harga emas sempat menyentuh US$ 1.321,5 per ons troi, Selasa (16/4). Alhasil, harga emas sudah tergerus 18% sejak awal tahun atau 29% dari rekor tertinggi yang tercipta pada Agustus 2011 silam.
Di pasar domestik, harga jual emas di Divisi Logam Mulia PT Aneka Tambang Tbk turun tipis menjadi Rp 541.000 per gram (18/4). Sebaliknya, harga beli kembali oleh Antam (buyback) terjun hingga Rp 431.000 per gram atau anjlok Rp 43.000 hanya dalam hitungan hari.
Apa yang sebenarnya terjadi di pasar emas? Beragam analisis bertebaran menyoal badai yang menerpa logam mulia ini. Jauh sebelum kulminasi, pamor emas sudah muram dibayangi spekulasi langkah pemerintah Amerika Serikat (AS) yang bakal mengurangi stimulus moneter melalui moderasi pembelian obligasi, tahun ini. Artinya, dollar AS berpeluang menguat dan itu alarm merah bagi emas.
Hawa bearish komoditas ini juga semakin kentara menilik data kepemilikan produk emas exchange trade fund (ETF) yang terus merosot. Pada Desember 2012, kepemilikan emas ETF para pemodal global masih sebanyak 84,62 juta ons troi. Namun, angka itu anjlok menjadi 77,36 juta ons troi, saat ini.
George Soros, investor kelas kakap yang juga menjadi salah satu pemain utama pasar emas, ditengarai melepas 55% kepemilikan ETF-nya, akhir tahun lalu. “Emas sudah dihancurkan pamornya sebagai safe haven dan terbukti bukanlah aset aman. Kekecewaan pada emas ini yang mendorong orang melepas emas,” papar Soros, seperti dikutip South China Morning Post, 4 April lalu.
Ditambah lagi, perlambatan ekonomi China yang berlanjut, sukses mengejutkan pasar. Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I–2013 cuma 7,5%. Puncak tekanan harga emas datang dari Siprus. Pasar berspekulasi, pemerintah negeri yang tengah krisis itu akan menjual cadangan emasnya. “Akhirnya, jerami mematahkan punggung unta,” ujar Barnabas Gan, analis komoditas OCBC Bank memberi analogi, dalam riset terbaru, Selasa (16/4).
Isu tersebut murni spekulasi menilik kepemilikan emas Siprus yang sangat kecil, yakni cuma 13,9 ton atau 0,045% dari total cadangan emas dunia menurut data World Gold Council. Kalau pun terjadi penjualan, seharusnya langkah itu tidak signifikan mempengaruhi harga emas. Pemerintah Siprus juga telah membantah rencana itu.
Masalahnya, pasar telanjur paranoid. “Pasar khawatir aksi monetisasi cadangan emas akan diikuti oleh bank sentral negara-negara Eropa lain,” tulis Goldman Sachs, seperti dikutip Bloomberg (16/4).
Negara-negara Eropa yang tengah penyakitan, seperti Yunani, Irlandia, Portugal, dan Spanyol, dikhawatirkan ikut menjual emas demi menutup beban utangnya. Penting untuk dicatat, kepemilikan emas negara-negara itu hanya berkisar 2,5% dari total cadangan emas dunia atau setara 782 ton emas.
Kendali si kakap
Jika Anda ingat, KONTAN pernah mengingatkan tentang gelagat para hedge fund kakap yang hendak mengerek turun harga emas (Tabloid KONTAN Edisi 11–17 Maret 2013).
Aksi para hedge fund pemain pasar emas itu, termasuk Goldman Sachs, berkaitan dengan kepentingan mereka untuk menangguk untung dari penurunan harga emas. Maklum, mereka memiliki posisi jual (short) di kontrak emas dalam jumlah sangat besar. Semakin ambles harga emas, cuan yang mereka kantongi kian membumbung.
Di saat yang sama, mereka akan memperbanyak posisi beli (long) di emas dan suatu saat akan berbalik mengerek naik harga logam mulia itu. Hasil dari manuver para hedge fund ini kentara pekan lalu. Aksi panic selling emas serempak merambah ke seluruh pasar.
Alhasil, emas rontok begitu cepat. “Kami mempertahankan posisi short menimbang kemungkinan penurunan harga emas lebih jauh dari perkiraan,” jelas Goldman.
Pertanyaannya kini, apakah itu berarti anjloknya harga emas murni akibat aksi spekulasi semata? Bagaimana sebenarnya sisi fundamental emas di pasar? Meski Soros menilai predikat safe haven emas sudah rusak, banyak analis yang masih berpendapat emas tetaplah instrumen yang mumpuni untuk lindung nilai (hedging).
Di sini, kondisi makroekonomi tidak bisa diabaikan. Kita ingat, harga emas melejit ketika dunia terempas tsunami finansial di kisaran tahun 2007–2008. Cukup masuk akal ketika perekonomian dunia mulai pulih, dengan membaiknya ekonomi AS sebagai salah satu indikasi, orang mulai mengurangi kepemilikan emas dan masuk lagi ke aset lebih berisiko.
Data EPFR Global mencatat, dana mengalir keluar dari emas sepanjang tahun ini mencapai US$ 11,2 miliar. Di saat yang sama, saham mencatat nett inflow hingga US$ 21,25 miliar. Dus, jangan kaget jika tren penurunan harga emas terus berlanjut seiring semakin cerahnya perekonomian dunia.
Beli atau tidak, ya?
Lantas, apakah artinya harga emas yang terkapar kini belum menemui dasar terdalamnya? Ibrahim, analis Harvest International Futures, memprediksi, harga emas masih akan nyungsep ke US$ 1.200, yang menurutnya adalah dasar atau bottom harga emas.
Pada perdagangan Rabu (17/4), emas memang bangkit lagi ke kisaran US$ 1.383,2 per ons troi, namun di mata analis itu tak lebih dari pola dead cat bounce alias bangkit sementara untuk kemudian jatuh lagi.
Campbell R. Harvey, profesor studi logam mulia di Duke University AS, malah melontarkan prediksi lebih ekstrem dalam risetnya yang dimuat di Social Science Research Network.
Harvey membandingkan harga emas dengan tingkat inflasi. Harga emas pengiriman Juni per 16 April lalu ditutup di US$1,387.40 per ons troi, ekuivalen dengan 5,97 kali inflasi AS di bulan Maret. Angka itu jauh di atas rerata rasio bulanan sejak tahun 1975 yang sebesar 3,35 kali. “Untuk mencapai rata-rata historisnya itu, harga emas seharusnya di bawah US$ 800 per ons troi,” ramal dia.
Dari sisi teknikal, analis komoditas SoeGee Futures Renji Betari melihat, kejatuhan harga emas sudah dalam. Dua pekan ini sudah jenuh beli (oversold). Moving average convergence/divergence (MACD), jika ditarik dari dua tahun lalu, minus 60% dari angka nol sehingga harga emas berpeluang pulih ke US$ 1.450 per ons troi. Dus, membeli di harga saat ini sudah cukup murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News