Reporter: Nur Qolbi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks dolar Amerika Serikat (AS) sempat menyentuh posisi terendah dalam tujuh bulan terakhir, yakni di 102,68 pada Selasa (10/1). Namun, di akhir perdagangan, indeks dolar AS ditutup di level 103,07.
Akan tetapi, dibandingkan dengan posisi tertingginya di 114,75 dalam tujuh bulan terakhir, indeks dolar AS saat ini tercatat merosot 10,18%. Hal ini menunjukkan bahwa dolar AS cenderung melemah terhadap mata uang utama alias major currencies.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, tren dolar AS yang berbalik melemah pada awal tahun 2023 dipengaruhi oleh ekspektasi pelaku pasar bahwa inflasi AS akan lanjut turun. Hal ini berimplikasi pada ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed yang lebih terbatas.
Baca Juga: Kenaikan Bunga The Fed Mendekati Puncak, Dolar AS Tertekan
Bank sentral AS tersebut diperkirakan hanya akan menaikkan suku bunga sekitar 50 bps-75 bps pada tahun 2023. Jumlah tersebut jauh di bawah kenaikan suku bunga The Fed sepanjang tahun lalu yang mencapai 4,25%.
Selain itu, pelemahan indeks dolar AS juga terpengaruh langkah pemerintah China yang mulai melonggarkan kebijakan zero Covid.
Kondisi ini memberi sentimen positif bagi mata uang Asia, mengingat sebagian besar negara Asia termasuk Indonesia cukup bergantung terhadap kinerja perekonomian China.
Sebagai soft currency, pergerakan nilai tukar rupiah secara umum akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan indeks dolar AS.
Josua memperkirakan, indeks dolar AS akan berada di kisaran level 102-103 hingga akhir tahun 2023.
Baca Juga: Indeks Dolar Menyentuh Level Terendah Tujuh Bulan Terakhir, Ini Penyebabnya
"Sejalan dengan tren penguatan dolar yang lebih terbatas pada tahun ini, maka selanjutnya berpotensi memberikan ruang penguatan terhadap nilai tukar rupiah," kata Josua saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (10/1).
Di sisi lain, tren penguatan dolar AS terhadap mata uang utama berpotensi kembali meningkat apabila kondisi inflasi global terutama negara maju cenderung tinggi. Konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang meningkat serta tensi perdagangan AS-China yang memanas juga dapat kembali mendorong sentimen risk off di pasar keuangan global yang akan melemahkan mata uang utama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News