Reporter: Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Dorongan berinvestasi bisa datang kapan saja, bahkan di saat kepepet. Seperti pengalaman Handhianto Suryo Kentjono, Wakil Direktur Utama PT MNC Skyvision Tbk (MSKY).
Kepepet butuh banyak uang saat merantau di negeri orang, Handhianto nekat memulai petualangan investasi dengan biaya kuliah. Ketika itu, ia tengah menempuh pendidikan di Amerika Serikat (AS).
Bermodal uang kuliah senilai US$ 31.000, Handhi pun memulai trading saham. "Ya, sebagai day-trader," ungkap Handhi.
Ia mengaku bermodal nekat saja, karena ia tidak memiliki latar belakang atau pengetahuan sama sekali di dunia pasar modal. Pria yang menggenggam gelar PhD bidang Applied Mathematics dari University of Montana ini mengaku, tidak ada yang mengajaknya terjun ke dunia pasar modal. "Mungkin naluri ya. Jadi uangnya terbatas, kuliah masih panjang, perlu cari uang," ungkap pria 50 tahun ini terkekeh.
Memang, warga negara asing yang tinggal di AS tidak boleh untuk bekerja penuh waktu. Makanya, Handhi memilih membiakkan duit di pasar yang berisiko tinggi tersebut. Selain bertransaksi saham, ia juga mengajar untuk menambah penghasilan. "Saya mengajar supaya ada pendapatan tambahan," ungkap pria yang kadang bermain gitar di waktu luangnya ini.
Tentu saja, mantan Managing Director Rimba Group ini juga mengalami masa pasang surut. "Naik turun sudah pasti, namanya transaksi ini bukan investasi," katanya.
Saat itu, Handhi melakukan jual beli saham berdasarkan rumor, analisis dan momentum tanpa mengetahui fundamental perusahaan. Ia mengaku beruntung, dapat melewati rontoknya Wallstreet pada tahun 1987.
Ketika itu, ia sudah mengalihkan seluruh investasi sahamnya ke emas. Handhi mengatakan, ia tidak paham dengan fundamental. Ia bertransaksi saham berdasarkan momentum dan tren. Karena ia melihat momentum dan tren saham sudah mendekati bubble, ia pun lompat ke logam mulia.
Sebelum kembali ke Indonesia, Handhi menjual seluruh investasinya di Amerika Serikat pada tahun 1998. Meski awalnya nekat, toh dari transaksi di pasar saham itu, ia dapat mencukupi biaya kuliahnya. Ia bahkan mengirimkan sebagian dana ke Indonesia untuk orangtua.
Sekembalinya ke Indonesia, Handhi kembali membiakkan dana di pasar modal. Tapi, ia tak lagi sebagai day trader seperti semasa tinggal di AS.
Saat ini, Handhi lebih memposisikan diri sebagai investor saham dan bukan trader. Maklum, keadaan dirinya sekarang sudah berubah. Dulum ia belum menikah dan punya anak. Ia kini berkeluarga dengan dua orang anak.
Faktor lain yang berpengaruh juga karena filosofi investasi yang sudah berubah. "Faktornya karena saya beli perusahaan, saya berinvestasi di sana," ungkapnya.
Karena perubahan filosofi ini, Handhi selalu melihat profil perusahaan sebelum membeli saham. Ia menganalisa fundamental dan prospeknya. Baginya, membeli saham berarti membeli suatu bisnis, bukan hanya saham untuk ditransaksikan. "Jadi berinvestasi berdasarkan fundamental," ujarnya.
Handhi kini membagi proporsi investasinya sebanyak 70% di saham dan 30% di properti. Pemilihan saham sebagai mayoritas alokasi investasi semata karena memberi return lebih tinggi dari investasi di bidang lain. Saat ini saham-saham yang menjadi pilihan dia adalah saham sektor media dan properti.
Sementara untuk investasi properti, Handhi memilih tanah dan rumah. Ia menghindari berinvestasi di apartemen karena kurang suka menempatinya. "Apartemen mungkin bagus, tapi saya termasuk old-fashioned. Saya lihatnya tanah dan rumah untuk tinggal," ujarnya.
Strategi melawan pasar
Ketika trading saham dahulu, Handhi menerapkan strategi contrarian investing, yaitu mengambil tindakan yang berlawanan dengan mayoritas pelaku pasar. "Waktu orang keluar, saya sadar ini waktunya beli. Ketika orang lain masuk, saya keluar," ujar Handhi.
Strategi kontrarian ini, ia dapatkan dari pengalaman. Hal ini, menurut dia, berkaitan dengan psikologi orang yang kadang tidak tahu bottom. Dengan strategi ini, Handhi juga memperingatkan investor supaya jangan terbawa emosi karena kadang ada orang yang suka suatu saham dan tidak mau melepas.
Handhi juga mengingatkan, supaya investor lain tidak meniru caranya bertransaksi dengan menggunakan seluruh dananya. "Saya pakai uang sekolah untuk trading. Saya tidak pakai 30%, saya pakai semua. Itu enggak bijak," ungkapnya.
Kelak, jika melihat anaknya trading memakai cara seperti itu, ia akan melarangnya. Bukan berarti ia mengabaikan insting, melainkan menurutnya, memang cara itu salah dan tidak bisa dibenarkan menggunakan teori apapun.
Namun, anak-anak Handhi masih perlu waktu lama sebelum bisa trading di bursa. Kedua anak Handhi masih berusia di bawah lima tahun. Untuk anak-anaknya, Handhi menginvestasikan buku dan membacakannya. "Menurut saya, haus akan pengetahuan itu harus dikembangkan ke anak," ujar Handhi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News