Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Indonesia memimpin pertumbuhan pasar obligasi diantara negara satu kawasan Asia Timur. Laporan Asian Development Bank (ADB) menyebutkan, pasar obligasi dalam mata uang lokal Indonesia tumbuh 3,9% menjadi US$ 108 miliar pada akhir kuartal ketiga 2013 dibanding kuartal kedua 2013.
Dari total penerbitan itu, sebesar US$ 89 miliar atau 82,5% merupakan obligasi pemerintah dan sisanya US$ 19 miliar atau 17,5% merupakan obligasi korporasi. "Meskipun terdapat ketidakpastian pasar, pasar obligasi lokal Asia Timur masih tumbuh dengan pertumbuhan paling tinggi di Indonesia," kata Kepala Kantor ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional, Iwan Jaya Aziz, belum lama ini.
Meski dari sisi pertumbuhan Indonesia berada di angka tertinggi, dari sisi jumlah, pertumbuhan obligasi Indonesia masih terhitung tipis dibanding negara lain.
Secara keseluruhan, pasar obligasi lokal Asia Timur tumbuh 12,5% secara year on year menjadi US$7,13 triliun per akhir September. Iwan mengatakan, negara berkembang di kawasan Asia Timur harus mampu memanfaatkan rencana penundaan dari normalisasi kebijakan Amerika Serikat (AS) atau tapering.
Direktur Strategi dan Portfolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, Scenaider Siahaan mengatakan, pemerintah siap menghadapi kemungkinan terjadinya tapering tahun depan. Pihaknya bakal menerapkan strategi front loading atau memperbanyak penerbitan utang di semester I tahun depan. "Strategi kami akan menerbitkan 60% pada semester I untuk mengantisipasi tapering. Kemungkinan 30% pada kuartal pertama dan 30% kuartal kedua," kata Scenaider.
Pemerintah menetapkan target indikatif penerbitan surat utang negara (SUN) netto tahun depan mencapai Rp 205,06 triliun. Sedangkan, target indikatif dana untuk memenuhi SUN yang jatuh tempo, cash management dan buyback senilai Rp 154,77 triliun. Dus, kebutuhan penerbitan SUN tahun depan mencapai Rp 359,84 triliun.
Dia mengakui, tapering akan berdampak pada kenaikan yield. Tapi, Scenaider optimistis, permintaan dari pasar domestik masih akan tinggi. "Permintaan investor untuk obligasi valas mungkin akan terpengaruh oleh tapering. Oleh karena itu, kami akan menerbitkan obligasi valas lebih dulu di awal tahun depan," kata Scenaider.
Di akhir tahun ini, pemerintah mulai membatasi penyerapan SUN. Seperti, pada lelang surat berharga syariah negara (SBSN), kemarin, pemerintah hanya memenangkan tiga seri sukuk senilai Rp 500 miliar. Dalam lelang itu , total permintaan yang masuk mencapai Rp 1,91 triliun atau lebih tinggi dari target indikatif Rp 1 triliun.
Investor masih meminta imbal hasil tinggi. Yield terendah yang masuk untuk seri PBS004 yang jatuh tempo Februari 2034 mencapai 9,62%. Padahal di pasar sekunder, imbal hasil sukuk seri ini di angka 9,11%. DJPU tidak memenangkan PBS004.
Sedangkan, untuk seri PBS005 dan PBS006, pemerintah hanya memenangkan masing-masing Rp 85 miliar dan Rp 160 miliar. Imbal hasil rata-rata tertimbang untuk PBS005 sebesar 9,51%, masih di atas imbal hasil di pasar sekunder kemarin 9,17%. Pun seri PBS006 yang memiliki imbal hasil rata-rata tertimbang 8,45%, lebih tinggi dari yield di pasar sekunder 8,05%.
DJPU akan menggelar lelang SUN terakhir, 3 Desember nanti. DJPU sudah meraup dana Rp 45,63 triliun dari lelang sukuk dan SUN, tidak termasuk lelang SUN valas pada lelang di kuartal IV ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News