Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Masa suram saham sektor batubara diperkirakan bakal berlanjut tahun depan. Di sisi fundamental, ketimpangan antara pasokan dan permintaan batubara tetap menjadi faktor utama yang menekan harga komoditas energi ini. Apalagi, Tiongkok sebagai pembeli terbesar batubara dunia, terus mengurangi permintaan batubara.
Hans Kwee, Vice-President Investment Quant Kapital Investama, menilai, dalam kondisi seperti ini, emiten batubara akan kesulitan mendongkrak kinerja jika hanya mengandalkan kontribusi penjualan komoditas itu. Emiten batubara dituntut mendiversifikasikan usaha agar bisa mendapatkan nilai tambah dari lini bisnis lain. "Paling bagus diversifikasi ke bisnis pembangkit listrik karena akan terintegrasi dengan batubara," ungkap Hans, Minggu (28/12).
Berbeda dengan batubara, bisnis listrik, lanjut Hans, memiliki prospek yang menjanjikan. Hal ini, misalnya, didorong program Presiden Joko Widodo yang ingin membangun pembangkit listrik berkapasitas total 35.000 Megawatt (MW).
Proyek ini tak bisa digarap sepenuhnya oleh PT PLN. BUMN setrum itu perlu menggandeng swasta untuk mencapai target yang dicanangkan pemerintah. "Peluang bisnis penyediaan listrik sangat besar karena pasokan listrik masih kurang sementara kebutuhan terus meningkat," ungkap Hans.
Namun belum banyak emiten batubara melebarkan sayapnya ke bisnis energi listrik. KONTAN mencatat, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang agresif menggarap bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
PT Adaro Power, ADRO tampak konsisten menggarap bisnis pembangkit listrik. Emiten saham ini menargetkan memiliki pembangkit listrik berkapasitas 20.000 MW dalam 20 tahun, terhitung sejak tahun 2012.
Jalan Adaro menuju target itu memang masih panjang. Saat ini Adaro baru memiliki pembangkit listrik (power plant) berkapasitas 2x30 MW. Power plant itu dikelola anak usaha Adaro Power, PT Makmur Wisesa Sejahtera, dan berlokasi di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Namun, Mohammad Effendi, Presiden Direktur Adaro Power, optimistis perusahaannya bisa mencapai target tersebut. Sebab, peluangnya masih lebar.
Dia menggambarkan, saat ini total kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai 40.000 MW. Sementara pertumbuhan kapasitas power plant secara nasional diprediksikan mencapai 9% per tahun. "Kalau kami bisa ambil separuh saja dari kapasitas nasional saat ini, target 20.000 MW bisa tercapai," kata Effendi, beberapa waktu lalu.
Selain ADRO, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), juga mulai mendiversifikasikan usaha. Bedanya, selain masuk PLTU, PTBA menggarap bisnis energi terbarukan berbasis kelapa sawit.
PTBA, misalnya, membeli 100% saham perkebunan kelapa sawit, yaitu PT Bumi Sawindo Permai. Nilai akuisisi yang dilakukan oleh anak usaha PTBA, PT Bukit Multi Investama (BMI), mencapai Rp 861 miliar.
Bumi Sawindo memiliki kebun sawit berstatus Hak Guna Usaha seluas 8.346 hektare yang menjadi bagian dari wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PTBA di area Banko, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Bumi Sawindo juga memiliki pabrik pengolahan sawit berkapasitas 45 ton per jam tandan buah segar, serta pembangkit listrik berbahan bakar limbah kelapa sawit berkapasitas 5 MW.
Analis Danareksa Sekuritas, Stefanus Darmagiri, tetap merekomendasikan buy saham ADRO dengan target harga wajar di level Rp 1.280 per saham. Analis Sucorinvest Central Gani, Andy Wibowo Gunawan, juga merekomendasikan buy saham PTBA dengan target harga Rp 17.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News