Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Dessy Rosalina
JAKARTA. Memasuki perubahan musim, beberapa negara produksi batubara mengalami perubahan cuaca yang cukup ekstrem. Musim hujan misalnya, mampu mempengaruhi produksi dan menghambat moda transportasi.
Hal tersebut dapat berdampak positif kepada negara eksportir batubara lantaran memberikan kelangkaan pada stok batubara. "Kita harus ingat di China memasuki perubahan musim panas ke hujan, cuaca ekstrem dan kerap banjir. Kinerja PLTA sedikit menurun karena saat musim hujan waduk-waduk ditutup karena menggunakan turbin," jelas Direktur Garuda Berjangka Ibrahim saat dihubungi KONTAN, Senin (17/7).
Cuaca ekstrem yang melanda China menyebabkan moda transportasi dan pembangkit listrik mengalami penghentian sementara, Negeri Tirai Bambu dapat kembali menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menggerakkan generatornya. Tak hanya itu, guna mengantisipasi musim dingin, Cina sejatinya juga akan meningkatkan produksi batubara demi menyuplai kebutuhan listrik.
Ibrahim menambahkan, dari November 2016 China memproduksi hanya 50% dari kapasitas 1 juta ton, yaitu hanya 500.000 ton. "Hampir menjadi setengahnya, artinya sekarang mereka sedang kekurangan," kata Ibrahim.
Ibrahim melanjutkan, berdasarkan pemaparan tersebut, maka China harus meningkatkan kapasitas produksinya, apalagi saat ini Amerika Serikat (AS) telah memberikan sinyal positif kepada eksportir batubara guna menyuplai pembangkit listrik mereka yang kian bertambah.
Kondisi cuaca memang memiliki andil besar dalam pertambangan. Sebagai gambaran, di Indonesia sendiri musim kemarau yang berlangsung sejak Juni akan memberi keuntungan untuk sektor pertambangan. Pasalnya, aktivitas penambangan menjadi lebih mudah.
Hal ini akan membuat volume produksi meningkat, diikuti dengan stabilitas harga batubara. Sebaliknya saat cuaca buruk, permintaan akan tetap sama namun stok mengalami kelangkaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News