Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan penyesuaian tarif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk tujuh sektor industri. Kebijakan ini berpotensi menjadi batu sandungan bagi kinerja sejumlah emiten yang terdampak.
Penyesuaian tarif HGBT itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM No 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Beleid ini memungkinkan HGBT naik di atas level patokan harga sebelumnya, yakni sebesar US$ 6 per MMBTU.
Ketujuh industri yang tercakup dalam regulasi tersebut adalah bidang industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Kenaikan HGBT ini berpotensi mengerek biaya (cost) emiten yang bergerak di industri tersebut.
Research Analis Henan Putihrai Sekuritas, Ezaridho Ibnutama melihat penyesuaian harga gas industri tertentu bisa berdampak terhadap kinerja dan prospek saham emiten terkait. Bagi industri yang memakai gas bumi sebagai bahan bakunya, biaya produksi akan membengkak.
Hal itu kemudian dapat mempengaruhi margin keuntungan perusahaan. "Apabila harga gas industri naik, emiten yang bergantung pada gas bumi sebagai input utama dalam operasional mereka mungkin akan menghadapi tekanan biaya," kata Ezaridho kepada Kontan.co.id, Rabu (21/6).
Baca Juga: Bisnis Industri Kimia Terdampak Kenaikan Harga Gas
Catatan dia, seberapa signifikan dampak dari kenaikan harga gas akan tergantung pada beberapa faktor. Terutama dari sisi struktur biaya perusahaan, kapasitas produksi, efisiensi operasional, dan fleksibilitas dalam menyesuaikan harga jual produk atau jasa dari perusahaan.
Dus, Dampak kenaikan harga gas industri terhadap kinerja akan sangat bergantung pada manajemen cost (pengelolaan biaya) masing-masing emiten.
"Manajemen yang efektif mengelola biaya operasional dan menyesuaikan strategi bisnis mereka dapat membantu emiten mengatasi tekanan biaya yang diakibatkan kenaikan harga gas industri," tegas Ezaridho.
Equity Research Analyst Panin Sekuritas, Felix Darmawan sepakat, kenaikan HGBT bisa menjadi katalis negatif lantaran mendongkrak biaya produksi. Namun, dampaknya bisa terminimalisasi jika emiten mampu melakukan efisiensi di bagian lain agar posisi margin tetap terjaga.
Karakteristik Industri
Kepala Riset Surya Fajar Sekuritas, Raphon Prima mengamati setiap industri punya karakteristik yang berbeda memposisikan gas dalam struktur biayanya. Dia mengamati PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) sebagai benchmark emiten di industri petrokimia.
Di TPIA, gas masuk ke dalam biaya pabrikasi dengan proporsi yang tidak terlalu signifikan, yakni sekitar 10% dari total Cost of Goods Sold (COGS). Sedangkan cost terbesar emiten petrokimia berada di bahan baku naphtha yang terkait dengan harga minyak mentah dunia.
Baca Juga: Harga Gas Murah untuk Industri Naik, Begini Efeknya ke Daya Saing Industri Petrokimia
Sehingga harga minyak yang melandai, akan berpengaruh lebih signifikan bagi emiten petrokimia ketimbang kenaikan harga gas industri.
"Ketika harga gas naik, itu bisa di-counter oleh penurunan dari harga crude oil yang signifikan. Jadi, penurunan harga minyak lebih dalam (pengaruhnya) dibandingkan dengan kenaikan harga gas," ujar Raphon.
Begitu juga untuk industri baja. Direktur Corporate Affairs PT Gunung Raja Paksi Tbk (GGRP) Fedaus mengungkapkan, gas dan listrik mengisi komponen energi yang dipakai pada pabrik baja. Dalam struktur biaya GGRP, komponen energi hanya mengisi 6% - 8%.
Proporsinya tidak begitu signifikan dibandingkan komponen raw material yang mencapai 80% - 83%. "Untuk kenaikan (harga) gas ini tidak begitu banyak dampak terhadap GGRP. Apalagi komponen energi terbesar kami berasal dari listrik," ungkap Fedaus.
Sementara itu, Raphon menyampaikan dampaknya bisa berbeda pada emiten di industri keramik. Sebab, komponen gas pada beban pabrikasi punya kontribusi yang cukup besar terhadap total COGS.
Sedangkan Research Analyst Reliance Sekuritas Lukman Hakim menyoroti, industri pupuk yang berpotensi lebih terpapar dampak dari kenaikan harga gas. Berbeda dengan sektor petrokimia yang kinerjanya berpeluang tetap terjaga oleh penurunan harga komoditas minyak.
Dus, Lukman merekomendasikan speculative buy untuk saham TPIA dengan target harga di Rp 2.380. Felix turut menjagokan TPIA, namun dengan rekomendasi hold target harga ada di Rp 2.250 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News