Reporter: Diki Mardiansyah, Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Era suku bunga rendah bakal segera berakhir sejelan dengan kebijakan Bank Indonesia (BI). Bank sentral tersebut, diperkirakan kembali mengerek suku bunga acuan guna meredam inflasi.
Tren kenaikan suku bunga acuan ini tentu akan ditransmisikan perbankan terhadap suku bunganya, baik untuk bunga simpanan maupun bunga kredit.
Kebijakan normalisasi giro wajib minimum (GWM) ke level 9% per 1 September dan permintaan kredit yang semakin membaik akan membuat likuiditas perbankan semakin berkurang. Faktor ini akan membuat persaingan dana semakin tinggi. Bank-bank terutama mereka yang punya rasio dana murah rendah akan segera menaikkan suku bunga simpanannya agar likuiditas terjaga.
Saat bunga simpanan naik maka biaya dana akan meningkat yang bisa menggerus margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) jika bunga kredit tak segera dinaikkan. Sementara jika bunga kredit dinaikkan maka bisa berdampak menekan pertumbuhan kredit.
Sehingga kenaikan suku bunga acuan BI ke depan akan menjadi sentimen yang akan mempengaruhi pergerakan saham perbankan. Bank-bank besar yang punya modal yang kuat dan rasio dana murah atau Current Account Saving Account (CASA) tinggi bisa diuntungkan dari tren kenaikan suku bunga ini.
Baca Juga: Perbankan Optimistis Kredit Konsumsi Tumbuh hingga Akhir 2022, Berikut Pendorongnya
Dengan rasio CASA yang tinggi, bank besar bisa menjaga biaya dana stabil sehingga mereka tak perlu terburu-buru menaikkan suku bunga kreditnya. Dengan begitu, penyaluran kredit juga bisa tumbuh baik.
Bank Mandiri telah memproyeksikan suku bunga acuan BI akan kembali naik hingga akhir tahun sebagai dampak kenaikan BBM. Tim ekonomi bank ini memprediksi kenaikan BBM itu akan mendorong inflasi naik ke 6,2% akhir tahun, itu naik dari perkiraan inflasi awal sebesar 4,6%.
Untuk menekan laju inflasi, BI telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis points (bps) pada Agustus lalu.
"Dengan kenaikan BBM, kami memproyeksikan BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya 50 bps-100 bps sehingga mencapai 4,75% pada akhir tahun 2022," kata Sigit Prastowo Direktur Keuangan Bank Mandiri, Kamis (19/9).
Harga saham bank-bank besar dalam beberapa hari perdagangan terakhir mengalami peningkatan cukup signifikan.
Berdasarkan data RTI, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) ditutup naik pada perdagangan Senin (19/9) sebesar 2,35% ke level Rp 8.650. Dalam satu bulan terakhir, saham BBCA sudah meningkat 8,1% dan sepanjang tahun ini, saham perbankan swasta terbesar di Indonesia itu terkerek 18,5%.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ditutup naik 1,5% ke leve Rp 4.570. Dalam sebulan saham bank pelat merah ini meningkat 5,5% dan sepanjang tahun ini sudah naik 11,2%.
Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga ditutup positif setelah naik 1,3% ke level Rp 9,225. Sebulan terakhir saham bank ini terangkat 7,3% dan sepanjang tahun ini sudah melonjak 31,3%.
Setali tiga uang, saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) ditutup naik 0,2% ke Rp 8.975 sehingga dalam sebulan tercatat naik 3,8% dan sepanjang tahun ini sudah melesat 33%.
Kendati sudah tak lagi murah, namun analis melihat saham-saham bank berkapitalisasi besar masih menarik karena memiliki prospek bisnis lebih kuat di tengah kenaikan suku bunga. Price to book value (pbv) BBCA sudah mencapai 4,98x, BBRI 2,3x, BMRI 1,85x dan BBNI 1,23x.
Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, perbankan merupakan proxy pertumbuhan ekonomi. "Saham-saham perbankan banyak direkomendasikan karena potensi pendapatannya yang naik," katanya pada Kontan.co.id, Senin (19/9).
Menurutnya, saham perbankan yang masih layan dikoleksi adalah saham berkapitalisasi besar seperti BBCA, BBRI, BMRI dan BBNI. Ia melihat prospek saham-saham ini dalam jangka menengah tidak ada masalah. Sehingga ia merekomendasikan bisa melakukan pembelian ketikan terjadi koreksi atau buy on weakness.
Baca Juga: Ini Alasan BRI (BBRI) Optimistis Kredit Naik Lebih Tinggi di Tahun 2023
Adapun target harga Wawan untuk BBCA tahun ini mencapai Rp 9.000, BBRI Rp 4.900, BMRI Rp 9.500, dan BBNI Rp 9.200.
Sementara menurut Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, kenaikan suku bunga akan membawa dampak positif ke perbankan akan tergantung pada aktivitas pemulihan ekonomi Indonesia.
Kenaikan tingkat suku bunga tentu memberikan dampak yang kurang baik terhadap pelaku pasar dan investor karena kebijakan itu menurunkan daya beli dan konsumsi sehingga menurunkan pendapatan perusahaan.
Namun, bisa berdampak positif jika kenaikannya dilakukan secara bertahap sehingga membuat proses transisi berjalan jauh lebih baik dimana bank yang paling diuntungkan adalah mereka yang punya modal dan rasio CASA yang besar.
"Jadi fokus utama saat ini adalah bagaimana pemulihan ekonomi terus terjadi dan berkelanjutan. Ini menjadi salah satu poin yang sangat penting karena akan menjaga aktivitas perbankan untuk tetap berjalan," kata Nico.
Adapun target harga Pilarmas Investindo untuk saham-saham perbankan adalah Rp 8.500 untuk BBCA dan target tersebut sudah tercapai. Lalu Rp 5.400 untuk BBRI, Rp 10.000 untuk BBNI, Rp 10.250 untuk BMRI, BTPS dengan target Rp 4.000, BRIS Rp 2.000, dan ARTO Rp 15.000
Adapun Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy menilai bank besar dengan capital adequacy ratio (CAR) yang tinggi dan terutama mereka yang punya rasio dan murah akan lebih leluasa dalam menghadapi tren kenaikan suku bunga ke depan.
Budi memperkirakan saham-saham bank berkapitalisasi besar masih akan berpeluang untuk naik sampai akhir tahun meskipun akan terbatas karena valuasinya sudah tidak lagi murah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News