Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina, Wahyu Satriani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Jangan menaruh semua telur di satu keranjang. Petuah lama di kalangan investor ini tak lekang ditelan zaman. Dalam berinvestasi, setiap orang memang mesti mendiversifikasi instrumen, guna meminimalkan risiko sekaligus memaksimalkan keuntungan.
Petuah ini pula yang menyetir gaya berinvestasi Direktur PT Quant Kapital Investama, Agus Gunawan saat ini. Pria lulusan Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini menebar aset di empat instrumen berbeda, yakni saham, emas, reksadana dan properti.
Seperti lazimnya investor kebanyakan, Agus mengalami pasang surut dalam membiakkan sebagian penghasilannya. Tapi, lantaran memecah pada empat instrumen, ia bisa meminimalkan risiko, ketika investasi di satu instrumen tak menghasilkan untung.
Agus memulai peruntungannya dengan memutar dana di instrumen saham yang sarat risiko. Pertimbangannya sederhana, ia memiliki pengetahuan memadai di instrumen ini. Sejak tahun 1993, Agus sudah malang melintang di perusahaan sekuritas maupun manajer investasi. "Tugas saya membantu nasabah membeli saham. Saya ingin menjajal juga secara langsung," kisahnya.
Pria asal Bali ini banyak memburu saham-saham initial public offering (IPO). Ia bilang, banyak investor publik memburu saham-saham IPO di pertengahan tahun 1990-an. Soalnya, mayoritas saham IPO selalu naik lumayan tinggi setelah pencatatan (listing) di Bursa Efek Indonesia.
Agus tidak terlalu peduli dengan prospek industri maupun kondisi fundamental saham-saham IPO kala itu. "Apapun perusahaannya, beli saham IPO waktu itu pasti untung," tuturnya. Biasanya, ia langsung menjual saham-saham IPO paling lama satu pekan setelah tanggal listing.
Masa bulan madu Agus di saham ternyata tak bertahan lama. Ia ikut menjadi korban krisis moneter tahun 1998. Waktu itu, ia salah menganalisis situasi krisis. Agus yakin, pasar saham waktu itu sudah mencapai level terendah alias bottom. Lantas, ia menarik seluruh depositonya untuk dibelikan saham PT Astra International Tbk (ASII). Agus membeli saham ASII di harga Rp 3.750 per saham. Ternyata, harga ASII terus turun setelah dibeli.
Lantaran sudah tidak kuat lagi menahan rugi, ia terpaksa menjual saham ASII di harga Rp 2.650 per saham. "Investasi saham saya benar-benar terpuruk, rugi besar waktu itu," kenangnya.
Cuan dari emas
Meski rugi besar di saham, Agus sejatinya tidak benar-benar terpuruk. Soalnya, ia berhasil mendapatkan kompensasi dari hasil investasi dalam emas. Agus bilang, investasi emas ini sebenarnya lebih banyak digeluti oleh istrinya. Mereka rutin membeli emas dengan cara menyisihkan sebagian dari penghasilan.
Agus bersama istri lebih suka membeli emas dalam bentuk perhiasan, bukan batangan. "Selain investasi, bisa juga dipakai istri," ujar Agus. Tak dinyana, ketekunan mereka mengoleksi emas menghasilkan untung besar. Pada saat krisis 1998, harga emas melonjak hingga mencapai Rp 140.000 per gram. Padahal, harga rata-rata emas saat dibeli Agus hanya Rp 24.000 per gram.
Pengalaman positif saat krisis 1998 memacu Agus kian rutin memutar investasinya di instrumen yang aman (safe haven) ini. Hingga kini, Agus rutin membeli emas. Kini, Agus juga mengurangi porsi investasinya dalam saham. "Saya sekarang lebih memilih beli saham berfundamental bagus yang harganya masih murah. Tapi, itupun sedikit," ungkapnya. Selain itu, ia juga mengoleksi produk reksadana, serta properti sebagai instrumen investasi jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News