Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) masih sulit digantikan dalam lanskap perdagangan internasional. Upaya BRICS mengurangi dominasi dolar tampaknya masih membutuhkan waktu lebih lama lagi.
Atlantic Council's GeoEconomics Center melaporkan hasil studi terbaru bahwa dolar AS terus mendominasi kepemilikan cadangan devisa, faktur perdagangan, dan transaksi mata uang secara global. Selain itu, peran dolar sebagai mata uang cadangan global utama tetap aman dalam jangka pendek dan menengah.
Dolar AS tetap perkasa bahkan ketika fragmentasi ekonomi telah memperkuat dorongan negara-negara BRICS untuk beralih ke kebijakan mata uang cadangan internasional lainnya. BRICS adalah organisasi antar pemerintah yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Etiopia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo mengatakan, upaya negara-negara BRICS untuk mengurangi ketergantungan mereka pada dolar AS menghadapi tantangan yang signifikan. Terlepas dari ambisi yang sudah ada sejak lama, sebagian besar transaksi lintas batas yang melibatkan anggota BRICS dan negara berkembang lainnya masih ditagih dalam dolar AS.
Baca Juga: Rupiah Melemah, Kemenparekraf Imbau Masyarakat Berlibur Di Dalam Negeri Saja
“Pertukaran mata uang lokal dalam BRICS dan pasar negara berkembang lainnya sering kali mengharuskan penggunaan dolar sebagai perantara. Ketergantungan ini menghambat upaya dedolarisasi,” kata Sutopo kepada Kontan.co.id, Minggu (30/6).
Sutopo melihat, sebagian besar utang publik dan swasta di negara-negara BRICS berdenominasi dolar. Sehingga, ketergantungan pada utang berbasis dolar mempersulit upaya untuk beralih dari greenback.
Apalagi, pergeseran kebijakan moneter AS dan masalah fiskal di pasar negara berkembang baru-baru ini telah menyebabkan kekurangan dolar. Negara-negara seperti Argentina, Ethiopia, dan Mesir, yang baru-baru ini diundang untuk bergabung dengan BRICS, menghadapi kekurangan dolar yang menyebabkan ketidakstabilan.
Sutopo bilang, meskipun blok BRICS berkembang dan para pembuat kebijakan fokus pada peningkatan penggunaan mata uang lokal, dominasi dolar tetap aman. Namun, upaya berkelanjutan untuk mempromosikan mata uang non-dolar, khususnya renminbi Tiongkok, mungkin secara bertahap akan mengubah lanskap perdagangan.
”Meskipun upaya dedolarisasi terus dilakukan, kekuatan dolar AS didukung oleh fundamental ekonomi, perbedaan suku bunga, dan kepercayaan global terhadap perekonomian AS,” ujar Sutopo.
Baca Juga: Kurs Rupiah Jisdor Melemah 0,18% di Hadapan Dolar AS, Selasa (2/7)
Sutopo menambahkan, beberapa upaya dedolarisasi bertujuan untuk menciptakan saluran keuangan yang tidak terlalu rentan terhadap sanksi ekonomi AS dan Eropa. Sebagian yang lain menanggapi karena tantangan ekonomi.
Analyst PT Finex Bisnis Solusi Future Brahmantya Himawan mencermati, dolar AS masih menjadi Mother of Currency yang berarti mata uang global yang masih banyak ditransaksikan. Jika suatu negara ingin melakukan perdagangan Internasional, pasti masih lebih banyak memakai USD, sehingga perputarannya masih besar yang berimplikasi pada kekuatan dolar itu sendiri.
“Meskipun banyak yang melakukan dedolarisasi seperti BRICS dan Arab yang mengakhiri petrodollar akhir-akhir ini dapat membawa pengaruh yang signifikan terhadap dolar AS, tapi memang memerlukan waktu dan Amerika tidak akan tinggal diam untuk hal tersebut,” kata Bram kepada Kontan.co.id, Sabtu (29/6).
Bram menilai, saat ini upaya BRICS sudah bagus karena negara yang bergabung dengan kelompok tersebut merupakan negara komoditas. Namun, dominasi dolar AS yang menjadi cadangan devisa hampir seluruh dunia masih akan sangat sulit tergantikan.
Baca Juga: Rupiah Paling Jeblok di Asia Hari ini (2/7), Melemah 0,46% Terhadap Dolar AS
Perputaran dolar AS masih besar, baik di Amerika maupun di luar Amerika. Dimana, perputaran dolar AS awalnya terbentuk akibat perjanjian dengan Arab Saudi yang menjadikan USD sebagai petrodollar yakni semua transaksi minyak harus menggunakan dolar AS.
Oleh karena itu, Arab Saudi sangat berperan penting dalam perputaran dolar AS. Hal ini tentunya juga dapat berpengaruh terhadap berkurangnya dominasi dolar karena Arab Saudi merupakan anggota BRICS yang dapat memasukkan kebijakan transaksi minyak tanpa dolar.
Langkah tersebut juga sudah ditempuh Arab Saudi yang tidak memperpanjang perjanjian petrodolar selama 50 tahun dengan Amerika Serikat (AS) yang berakhir Juni 2024. Upaya dedolarisasi ini diperkuat bukti bahwa penjualan Arab ke China sudah tidak memakai mata uang dolar, sehingga akan berdampak signifikan terhadap USD.
Namun demikian, Bram menuturkan, AS jelas tidak akan diam saja karena langkah transaksi minyak tanpa dolar AS itu dapat memicu inflasi besar - besaran seiring petro dollar yang hilang dan suku bunga mungkin belum akan turun dalam waktu dekat. Di sisi lain, upaya BRICS menjalani perang halus dengan USD dapat berimplikasi jika seluruh negara komoditas tidak menggunakan dolar sebagai alat transaksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News