Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bitcoin (BTC) masih bergerak di kisaran US$ 94.000 hingga US$ 100.000 sepanjang dua pekan terakhir, tanpa berhasil keluar dari zona tersebut.
Berdasarkan coinmarketcap, harga BTC berada di US$ 95.529 pada Selasa (18/2) pukul 14.24 WIB. Dalam sepekan, harganya masih turun 2,89%.
Financial Expert Ajaib, Panji Yudha memaparkan bahwa tekanan semakin terasa setelah arus keluar dari perdagangan ETF Bitcoin Spot di Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 585,65 juta selama periode 10-14 Februari, menurut data SoSoValue.
Penurunan ini dipicu oleh komentar hawkish Ketua The Fed, Jerome Powell, serta data inflasi AS pekan lalu yang lebih tinggi dari perkiraan. Inflasi tahunan AS tercatat naik menjadi 3% pada Januari, sementara inflasi inti mencapai 3,3%, memicu kekhawatiran pasar.
Baca Juga: Robert Kiyosaki Peringatkan Potensi Krisis Ekonomi Besar dan PHK Massal
Akibatnya, kapitalisasi pasar aset kripto turun 5%, dan BTC sempat jatuh di bawah US$ 95.000. Powell menegaskan bahwa suku bunga kemungkinan tetap tinggi lebih lama untuk menekan inflasi, yang mengecewakan investor yang berharap pemangkasan lebih cepat.
Selain faktor kebijakan The Fed, sentimen pasar juga tertekan oleh kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap Kanada, Meksiko, dan China. "Kombinasi faktor ini membuat aset berisiko, termasuk Bitcoin, berada di bawah tekanan," tulisnya dalam riset mingguan, Selasa (18/2).
Fear and Greed Index Bitcoin pun merosot ke zona ‘Fear’ setelah rilis data CPI, mencerminkan meningkatnya ketidakpastian di pasar.
Pekan ini, pelaku pasar kripto bersiap menghadapi data ekonomi AS yang dapat memicu volatilitas. Fokus utama tertuju pada risalah FOMC Januari yang dirilis 19 Februari, memberikan wawasan terkait kebijakan suku bunga The Fed.
"Pernyataan Jerome Powell yang tidak terburu-buru menurunkan suku bunga, meski ada tekanan dari Donald Trump, semakin diperhatikan pasar," katanya.
Selain itu, laporan klaim pengangguran awal pada 22 Februari akan menjadi indikator penting. Pekan lalu, angka klaim turun ke 213.000, lebih rendah dari perkiraan. Menurutnya, jika angka ini kembali naik, pasar dapat mengantisipasi potensi pemangkasan suku bunga lebih cepat, yang bisa meningkatkan daya tarik Bitcoin sebagai aset alternatif.
Terakhir, data Sentimen Konsumen AS dari University of Michigan pada 23 Februari dapat mempengaruhi pasar. Optimisme konsumen dapat mendorong permintaan terhadap aset berisiko, termasuk Bitcoin. Sebaliknya, ekspektasi inflasi yang meningkat bisa membuat investor beralih ke aset lebih aman, memperkuat spekulasi bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.
Karenanya, jika harga BTC mampu tembus level psikologis US$ 100.000, maka harganya berpotensi naik ke US$ 105.000. "Namun, jika BTC turun di bawah US$ 94.000, koreksi lebih lanjut dapat terjadi dengan support berikutnya di sekitar US$ 91.000," imbuhnya.
Baca Juga: Penipuan Memecoin Palsu Merajalela! Terbaru Nama Pangeran Mahkota Saudi Dicatut!
Selanjutnya: Jadwal Libur Nasinonal dan Cuti Bersama Maret 2025, Long Weekend Jelang Idul Fitri
Menarik Dibaca: Perbedaan Asam Urat dan Rematik, Kenali Sebelum Terlambat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News