Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Bitcoin (BTC) merosot ke level di bawah US$ 50.000 di perdagangan awal pekan ini. Aset kripto turut dipengaruhi oleh laporan data tenaga kerja Amerika Serikat (AS) yang lemah.
Mengutip Coinmarketcap, Bitcoin sempat mengalami penurunan dari US$ 58.350 ke level US$ 49.079 dalam hitungan jam pada Senin (5/8). BTC sedikit pulih dengan diperdagangkan pada level US$ 55.371 yang naik 7,50% dalam 24 jam namun masih melemah sekitar 16,95% dalam periode 7 hari terakhir.
Financial Expert Ajaib Kripto Panji Yudha mengatakan, laporan pekerjaan AS yang lemah baru-baru ini telah mengirimkan gelombang kejutan ke pasar global, termasuk sektor aset kripto. Laporan tersebut menunjukkan lonjakan signifikan dalam tingkat pengangguran, dengan pekerjaan nonpertanian jauh di bawah ekspektasi.
Data Nonfarm Payrolls (NFP) di AS yang dirilis pada Jumat (2/8) meningkat sebesar 114.000 pada bulan Juli, menurut laporan Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Angka ini lebih rendah dari kenaikan bulan Juni yang direvisi menjadi 179.000 dan ekspektasi pasar sebesar 175.000.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat pengangguran AS naik menjadi 4,3% pada bulan Juli dari 4,1% pada bulan Juni, dan tingkat partisipasi angkatan kerja naik menjadi 62,7% dari 62,6%. Selain itu, inflasi upah tahunan, yang diukur dari pendapatan rata-rata per jam, turun menjadi 3,6% dari 3,8% pada periode yang sama.
Baca Juga: Timteng di Ambang Perang, Warren Buffett Berpesan Jangan Melakukan Hal Ini
“Data tenaga kerja tersebut telah memicu kekhawatiran bahwa ekonomi AS mungkin menuju resesi, prospek yang telah membuat takut investor di berbagai kelas aset,” ungkap Panji dalam siaran pers, Selasa (6/8).
Akibatnya, Panji menyebutkan bahwa longsornya harga BTC menyebabkan outflow sebesar US$ 237,45 juta pada perdagangan ETF Bitcoin Spot, yang akhirnya menghasilkan net outflow sebesar US$ 80,69 juta pada periode 29 Juli-2 Agustus. Ini memutus tren positif yang telah berlangsung selama 4 minggu terakhir.
Di sisi lain, laporan pekerjaan AS tersebut telah memicu spekulasi tentang kebijakan Federal Reserve di masa mendatang. Beberapa orang percaya bahwa ekonomi yang melemah dapat mendorong Fed untuk memangkas suku bunga, yang berpotensi menguntungkan aset dengan pasokan tetap seperti Bitcoin dalam jangka panjang, reaksi pasar langsung adalah penghindaran risiko.
Selain itu, aksi Warren Buffett menjual sebagian besar saham Apple melalui Berkshire Hathaway turut menambah tekanan pada pasar saham global. Dan juga kenaikan suku bunga acuan oleh Bank of Japan (BoJ) menyebabkan indeks saham Jepang mendekati wilayah bear market.
“Ketidakpastian mengenai hasil pemilihan presiden AS mendatang dan popularitas Kamala Harris, yang kurang mendukung kripto dibandingkan Donald Trump, semakin menekan sentimen pasar,” sambung Panji.
Baca Juga: Harga Bitcoin Terseret Penurunan Bursa Global
Panji menambahkan, faktor lainnya yang memengaruhi pasar kripto termasuk pergerakan aset milik Jump Crypto dan potensi penebusan koin Bitcoin dari kasus kebangkrutan Mt. Gox. Sehingga, investor terus memantau perkembangan ini dengan cermat, khawatir dampaknya terhadap stabilitas pasar kripto.
“Dari sisi teknikal saat ini, BTC menguji resistance US$ 57.000, dengan potensi naik ke US$ 60.000 jika berhasil breakout. Namun, jika mengalami penolakan di resistance US$ 57.000, ada kemungkinan turun kembali ke support US$ 50.000,” tuturnya.
Panji menyarankan investor aset kripto untuk tetap tenang dan menilai kembali strategi investasi di tengah fluktuasi pasar. Diversifikasi portofolio dengan aset yang lebih stabil dapat membantu mengurangi risiko, sementara pemantauan perkembangan makroekonomi dan faktor eksternal seperti kebijakan suku bunga, serta keputusan investor besar sangat penting.
“Pertimbangkan juga risiko dan peluang jangka panjang, karena kondisi ekonomi yang melemah dapat mempengaruhi kebijakan moneter yang mungkin menguntungkan aset kripto di masa depan,” tandas Panji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News