Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kondisi pasar obligasi korporasi ternyata tidak selalu mengekor kondisi pasar obligasi negara. Kendati imbal hasil obligasi negara sudah turun lumayan banyak, investor masih menuntut imbal hasil tinggi untuk obligasi korporasi yang akan terbit.
Yang sedikit melegakan, investor sudah mulai berani berbelanja obligasi korporasi. Terbukti, delapan perusahaan yang tahun ini menerbitkan obligasi mengalami kelebihan permintaan alias oversubscribed. "Walau sudah berani, investor tetap menuntut imbal hasil yang relatif tinggi," ungkap Baradita Katoppo, Direktur Fitch Ratings Indonesia, akhir pekan lalu.
Ambil contoh penerbitan obligasi PT Federal International Finance (FIF) senilai Rp 1 triliun pada April lalu. Dalam prospektus awal, perusahaan pembiayaan motor itu memberi ancar-ancar tingkat kupon dengan bunga premium 2,5%-3,85% di atas imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) yang menjadi acuan.
Bandingkan dengan setahun sebelumnya. Perusahaan ini cuma menawarkan premium 0,6%-1,98% dari imbal hasil SUN patokan. Padahal, selama dua tahun terakhir, peringkat utang FIF tidak berubah, yakni idAA-.
Menurut Baradita, permintaan imbal hasil yang tinggi menandakan tingkat kehati-hatian investor lebih tinggi ketimbang tahun sebelumnya. Selain itu, investor asing baru berani membeli obligasi-obligasi korporasi dengan peringkat utang yang tinggi, yakni minimal A. "Tidak hanya di Indonesia, obligasi korporasi dari negara-negara yang memiliki peringkat tinggi pun masih kesulitan masuk ke pasar jika peringkatnya di bawah A," imbuh Baradita.
Ada kelebihan pasokan
Namun, Direktur Investment Banking Kresna Graha Sekurindo Andrew Haswin berpandangan lain. Menurutnya, investor menuntut premium tinggi lantaran melihat makin banyak perusahaan yang berminat menerbitkan surat utang. "Premium tinggi karena terjadi kelebihan pasokan di pasar obligasi korporasi," jelasnya, kemarin (24/5).
Sejak awal tahun, nilai obligasi korporasi, konvensional dan sukuk, yang telah masuk ke pasar mencapai senilai Rp 6,43 triliun. Kemudian, selama periode Mei-Juni 2009, delapan perusahaan bersiap menerbitkan obligasi senilai total Rp 8,6 triliun. Artinya, hingga akhir Juni nanti, pasokan obligasi korporasi sudah mencapai Rp 15,03 triliun.
Baradita menambahkan, kini Fitch tengah memproses peringkat 15 emiten yang akan menerbitkan obligasi rupiah. "Ini menunjukkan animo emiten ke pasar masih tinggi. Sekarang tinggal menunggu kesiapan pasar menerima penerbitan ini," katanya.
Sebaliknya, masih banyak perusahaan yang enggan menerbitkan obligasi internasional. "Sekarang biaya dana penerbitan obligasi rupiah masih lebih murah dibanding obligasi dolar AS," tandas Andrew. Belum lagi, emiten mesti pusing mengatur urusan lindung nilai valuta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News