Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Rencana pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah mulai awal tahun 2014 bisa menjadi katalis positif bagi saham sektor logam dan mineral. Adanya larangan ekspor, suplai mineral dari Indonesia akan berkurang dan bisa mendongkrak harga komoditas.
Sejumlah analis menilai, emiten sektor mineral yang sudah memiliki pabrik pengolahan alias smelter bisa meraup keuntungan dari kenaikan harga komoditas. Menurut para analis emiten yang akan meraih untung, PT Timah Tbk (TINS), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO).
Analis BNI Securities, Yasmin Soulisa menilai, aturan larangan ekspor mineral akan menguntungkan bagi perusahaan yang sudah memiliki smelter dan menghasilkan produk turunan sesuai aturan pemerintah. "TINS, ANTM dan INCO sudah memenuhi syarat," kata Yasmin.
INCO, semisal, sudah memproduksi nikel dalam matter atau produk setengah jadi dengan kandungan rata-rata nikel sebesar 78%. Sedangkan, ANTM telah memproduksi feronikel dengan kandungan 20% nikel dan 80% besi. Emiten plat merah ini juga mulai mengoperasikan smelter untuk mengubah bauksit menjadi chemical grade alumina (CGA).
Demikian juga TINS, produk timah yang dihasilkan sudah memenuhi persyaratan ekspor jauh hari sebelum ada aturan baru. Wajar, jika Yasmin menilai, TINS menjadi emiten yang paling diuntungkan dari kebijakan pemerintah tersebut.
Analis AAA Sekuritas, Carrel Mulyana berpendapat, aturan ekspor timah yang harus melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI atau ICDX) juga telah berhasil mengangkat harga timah. Yasmin juga menilai, larangan ekspor akan menyebabkan harga timah tahun depan naik. Jika pekan lalu, harga timah US$ 22.261 per ton. Dia memperkirakan, harga timah bisa naik 3% di tahun depan.
Analis Ciptadana Securities, Wilim Hadiwijaya pun yakin, harga nikel juga akan naik. Ini karena, larangan itu membuat suplai komoditas dunia terutama nikel dari Indonesia berkurang. "Ekspektasi harga nikel tahun depan akan membaik," kata Wilim.
Harga nikel, pekan lalu, mencapai US$ 13.954 per ton. Tahun 2014, Wilim memproyeksikan, harga nikel bisa mencapai US$ 16.000 per ton. Kenaikan harga tentu akan mendongkrak perolehan laba bersih dari INCO dan ANTM.
Menurut Wilim, INCO akan menjadi emiten yang paling diuntungkan dari larangan ekspor karena jauh lebih siap jika dibandingkan dengan ANTM. Selama ini, INCO memang sudah memiliki smelter sendiri yang menghasilkan nikel dengan kandungan di atas batasan yang diminta pemerintah. Seluruh produk INCO diekspor ke induknya Vale dan Sumitomo.
Sedangkan, ANTM selama ini masih mengekspor bijih nikel sebesar 30% dari total pendapatan. Adapun, pendapatan ANTM dari feronikel baru mencapai 20%. Pendapatan terbesar masih dari emas sebanyak 46%. Jika beleid ini berlaku awal 2014, pendapatan ANTM bisa terpangkas. Sebab, ANTM belum bisa mengolah semua nikel yang diproduksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News