Reporter: Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Yuwono Triatmodjo
JAKARTA. PT Timah Tbk (TINS) layak bersyukur dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 32/2013 tentang perubahan kedua Permendag Nomor 78/2012. Aturan anyar yang efektif berlaku 30 Agustus 2013 itu mewajibkan ekspor timah batangan melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
Karena tak semua eksportir timah masuk menjadi anggota BKDI, maka ekspor timah asal Indonesia pun menurun. Lantaran pasokan berkurang, otomatis harga timah pun terkerek naik. Maklum, sekitar 80% pasokan timah dunia berasal dari Indonesia.
Apalagi, karena harus lewat BKDI, TINS pun bisa mengatrol harga. Hasilnya, harga timah di bursa London Metal Exchange (LME) pun mengekor dan ikut naik. Per 3 Oktober 2013, harga timah dunia sudah bertengger di level US$ 22.750 per ton. Harga itu melejit hingga 20,69% dari posisi terendah sepanjang tahun 2013 di level US$ 18.850 per ton, 5 Juli silam.
Lonjakan harga timah ini bak durian runtuh bagi TINS. Seakan tidak mau melewatkan kesempatan, TINS pun menggenjot produksi. Di kuartal III 2013, produksi timah TINS naik menjadi 6.000 ton hingga 7.000 ton. Padahal, pada kuartal I dan II, jumlah produksi hanya 4.774 ton dan 4.839 ton.
Sejatinya, pengetatan aturan ekspor timah sudah terjadi sejak keluarnya aturan Permendag Nomor 78/2012. Disana ditetapkan, timah yang layak diekspor hanya yang memiliki tingkat kemurnian sebesar 99,9%. Beleid itu disambut gembira manajemen TINS. Sebab, sudah sejak tiga tahun lalu TINS memproduksi timah dengan kemurnian 99,9%. "Kami berharap pemerintah tegas memberlakukan peraturan ini," ujar Agung Nugroho, Sekretaris Perusahaan PT Timah kepada KONTAN, beberapa waktu lalu.
Meski terjadi lonjakan harga, bukan berarti TINS akan jor-joran memacu produksi. Sebab, dengan membatasi jumlah pasokan dunia, harga otomatis akan semakin tinggi. Sekedar mengingatkan, tahun ini, TINS tetap mempertahankan jumlah penjualan timah sebanyak 29.000 ton.
Asal tahu saja, dari total produksi, TINS mengalokasikan hampir 95% produksi ke pasar ekspor.
Sasar lahan Koba Tin
Bisa jadi, kenaikan harga timah itu akan berefek ke kinerja TINS di kuartal III 2013. Cuma, manajemen TINS masih belum bisa membeberkan hasil kinerja di kuartal III-2013. "Untuk kuartal ketiga masih belum bisa," tutur Direktur Utama TINS, Sukrisno, Kamis (3/10).
Agar produksi lancar, TINS telah merencanakan ekspansi dengan menggarap tambang timah di Myanmar. Demi mendukung aksi ini, dana sebesar US$ 18 juta telah TINS sediakan. Manajemen TINS sejak lama sudah mengirimkan tim untuk menggarap tambang timah di Myanmar.
TINS juga telah menggandeng dua mitra lokal di Myanmar untuk memuluskan perluasan bisnisnya. TINS juga berniat mendirikan unit pengolahan (smelter) disana dengan kapasitas produksi 30.000 ton hingga 40.000 ton per tahun.
Hingga kini, perizinan memang masih menjadi kendala. Padahal, TINS sudah berharap, di akhir tahun 2013 sudah bisa memulai eksplorasi, sehingga di tahun 2014 tahap eksploitasi dapat dilaksanakan. "Saat ini eksplorasi masih belum. Kami sedang menyelesaikan perizinannya," terang Sukrisno.
Produksi TINS bakal bertambah, karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah menugaskan TINS untuk mengambil alih lahan eks garapan PT Koba Tin. Seperti diketahui, pemerintah tidak memperpanjang kontrak karya (KK) Koba Tin yang sudah diberikan sejak 1971 hingga 31 Maret 2013 lalu. TINS sendiri bersiap menjadi pemilik 51% saham konsorsium yang kelak menggarap lahan tambang eks milik Koba Tin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News