Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Edy Can
JAKARTA. PT Indonesia Air Transport Tbk (IATA) menganggarkan belanja modal tahun 2012 senilai US$ 52 juta. Syafril Nasution, Presiden Direktur IATA, menuturkan, kebutuhan capital expenditure (capex) tahun ini, akan ditutupi dengan pinjaman pihak ketiga dan ekuitas sendiri. "Porsinya kemungkinan 30% ekuitas dan 70% pinjaman," kata dia dalam paparan publik, di Jakarta, Jumat (27/4).
IATA akan menggunakan capex untuk membeli 5-6 unit pesawat baru jenis fix wing. Pembelian tersebut, otomatis, menambah armada pesawat yang dimiliki IATA.
Saat ini IATA memiliki 17 unit pesawat. Perinciannya, pesawat jenis rotary sebanyak enam unit dan pesawat fix wing 11 unit. Jadi, di akhir tahun nanti, IATA akan memiliki 22-23 unit pesawat.
IATA memerlukan armada baru untuk mendukung agenda pengembangan bisnisnya. Tahun ini, IATA berniat menggarap penerbangan terjadwal, yang akan melayani wilayah Indonesia Tengah serta Indonesia Timur.
IATA memandang pertumbuhan penumpang pesawat di wilayah tersebut cukup prospektif. "Angkutan pesawat tidak lagi eksklusif karena itu kami akan memaksimalkan bisnis ini yang izinnya sudah kami peroleh dari tahun 2008 lalu," kata Syafril.
Kendati hendak mengembangkan sayap usahanya, IATA tidak akan melepas bisnis utamanya saat ini, yaitu layanan pesawat carter. Tahun ini, IATA mengincar dua kontrak carter pesawat baru dari dua perusahaan minyak dan tambang asing yang beroperasi di Indonesia Tengah.
IATA memprediksi nilai dua kontrak tersebut akan mencapai US$ 70 juta. "Itu nilai total untuk kontrak selama 5 tahun. Setiap tahunnya kami akan mendapat sekitar US$ 15 juta," ujar Syafril. Kontrak yang menjadi incaran itu masih dalam proses negosiasi.
Jika dua kontrak itu berhasil diperoleh IATA, maka pundi-pundi keuangannya akan makin tebal. Saat ini, IATA masih menggarap lima kontrak pesawat carter dari beberapa perusahaan tambang, seperti PT Vale Indonesia Tbk dan Total E&P Indonesie.
Jangka waktu kontrak yang ada saat ini beragam, mulai dari tiga hingga lima tahun. Setiap tahunnya, IATA memperoleh pendapatan dari lima kontrak penyewaan itu sekitar Rp 260 miliar.
Beberapa ekspansi itu, jika berhasil dilaksanakan seluruhnya, akan meningkatkan pendapatan IATA hingga 20% dari tahun 2011 yang senilai Rp 221,83 miliar. Namun Syafril masih enggan membeberkan proyeksi penurunan kerugian bersih yang ingin dicapai IATA di tahun ini.
Sebagai gambaran, di 2011, IATA berhasil menekan rugi bersih menjadi Rp 33,55 miliar, dari Rp 39,62 miliar yang terjadi di 2010. Pada perdagangan Jumat (27/4), harga IATA ditutup melemah 1,3% menjadi Rp 76 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News