Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menggodok rencana implementasi perdagangan karbon di Tanah Air.
Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Jeffrey Hendrik menyampaikan, saat ini BEI bersama Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) atas arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan kajian konsep perdagangan karbon.
BEI pun butuh waktu sepanjang tahun ini untuk mengembangkan konsep perdagangan karbon yang notabene sedikit berbeda dengan saham ataupun obligasi.
"Kami harap perdagangan karbon dapat diimplementasikan secara bertahap dimulai dari perdagangan sub-sektor ketenagalistrikan di akhir tahun 2023 dan lebih luas lagi di tahun 2024," ujar Jeffrey, Rabu (22/2).
Baca Juga: 99 Unit PLTU Berpotensi Ikut Perdagangan Karbon Sektor Ketenagalistrikan Tahun Ini
Keselarasan pemahaman dinilai menjadi bagian penting dalam pengembangan karbon yang tergolong baru di Indonesia. Alhasil, bursa karbon yang dibentuk sesuai dengan mandat yang diberikan oleh pemerintah dan menjawab apa yang dibutuhkan pelaku pasar lokal maupun internasional.
Sesuai dengan mandat dalam Peraturan Presiden No 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan Peraturan Menteri LHK No 21/2022, perdagangan karbon akan mengakomodasi mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi gas rumah kaca (GRK).
Nantinya, kriteria pembeli dan penjual untuk masing-masing produk dan mekanisme perdagangannya akan dituangkan dalam peraturan yang sedang BEI susun yang tentu akan mengakomodasi pelaku usaha yang ditunjuk oleh masing-masing kementerian.
"Untuk tarif-tarif kami masih dalam tahap pembahasan dengan pemerintah dan OJK, " imbuh dia.
Sementara itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM resmi meluncurkan perdagangan karbon subsektor tenaga listrik yang mana untuk tahun ini diikuti oleh 99 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari 42 perusahaan dengan total kapasitas terpasang 33.569 megawatt (MW).
Perdagangan karbon ini pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada unit pembangkit PLTU batubara yang terhubung dengan jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan kapasitas lebih besar atau sama dengan 100 MW.
Baca Juga: OJK Harap Perbankan Nasional Dukung Transisi Energi Fosil ke Energi Hijau
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News