Sumber: KONTAN | Editor: Test Test
JAKARTA. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) mengharapkan Bank Indonesia (BI) memperlonggar aturan yang terkait dengan kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA). Salah satunya adalah ketentuan agar bank memakai mark to market atau harga pasar terakhir dalam menghitung portofolio investasi, termasuk KIK-EBA.
Untuk itu, manajemen BBTN akan menemui Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Halim Alamsyah awal tahun depan. "Kami akan menghadap beliau pada Januari 2010," kata Wakil Direktur Utama BTN, Evi Firmansyah, kemarin (20/12).
Evi menjelaskan, mulai Januari 2010 nanti, perbankan wajib mengadopsi sistem laporan keuangan sesuai revisi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 50/2006 dan PSAK 55/2006.
Nah, aturan mark to market masuk di dalamnya. "Metode menentukan mark to market harus dipahami atau disepakati bersama," kata Evi.
Aturan mark to market bisa memperlemah daya saing produk KIK-EBA di pasar. Maklum, selama ini KIK-EBA memang tak likuid seperti obligasi atau saham BBTN di pasar sekunder. Artinya, harga pasar KIK-EBA akan statis, bahkan bisa anjlok apabila pasar terkena krisis. Risiko ini membuat portofolio KIK -EBA tidak menarik seperti instrumen lain.
Tanpa mark to market pun, investor KIK-EBA masih terbatas, yakni hanya kalangan dana pensiun dan asuransi. Nah, aturan ini akan membuat bank semakin enggan membeli KIK-EBA. Beleid ini juga akan menyulitkan BBTN yang selama ini juga menggenggam sendiri sebagian KIK-EBA terbitannya.
Belum lagi, pada paruh kedua 2010 BBTN berniat menerbitkan KIK-EBA lagi senilai Rp 500 miliar.
Analis obligasi, Heru Helbianto memperkirakan, penjualan KIK-EBA akan seret. Sebab, KIK EBA masih baru. Sementara, pada tahun depan pasar ia prediksi belum stabil. "Investor akan lebih nyaman membeli obligasi konvensional," kata Heru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News