Reporter: Namira Daufina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Dengan dimulainya pertemuan United Nations yang berfokus pada business climate mulai Senin (30/11) hingga dua minggu mendatang, masa depan batubara dinilai kian suram. Sebabnya, dalam pertemuan ini diprediksi negara-negara maju akan berlomba untuk mengikis penggunaan energi tidak ramah lingkungan, seperti batubara.
Mengutip Bloomberg, Jumat (27/11) harga batubara kontrak pengiriman Desember 2015 di ICE Futures Exchange bergerak stagnan di level US$ 53,70 per metrik ton seperti hari sebelumnya. Harga ini pun hanya bergerak sempit dalam sepekan terakhir dengan penurunan tipis 0,27%.
Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures memaparkan untuk jangka menengah ini batubara masih akan menjadi komoditas yang pergerakannya tertekan. Beban terbesar datang dari isu lingkungan yang mencuatkan penggunaan energi alternatif.
“Maka tidak heran penyusutan permintaan dari China dan global kian signifikan dari waktu ke waktu,” kata Wahyu. Memang salah satu yang bersuara lantang untuk memerangi permasalahan isu lingkungan dengan pemangkasan produksinya adalah China. Sepanjang Januari – September 2015 ekspor batubara Australia ke China sudah turun 21% dan ekspor Indonesia merosot 43%.
China dan Amerika Serikat menjalin kerja sama untuk memerangi efek gas rumah kaca. Pada kesepakatannya, China menetapkan deadline bahwa di tahun 2030 emisi di China sudah akan berhenti tumbuh. Sehingga ini memungkinkan China untuk memangkas emisi karbon dioksidanya hingga 60 – 65%.
“Ancaman bagi harga batubara pun masih mengintai dengan tingginya produksi batubara China,” tambah Wahyu. Kapasitas produksi batubara China diprediksi naik sebanyak 333 juta ton di tahun 2016 atau naik sekitar 9,7% dari tahun 2015. Sedangkan permintaan tahun 2016 diprediksi akan turun sebesar 0,7% dari tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News