Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Biasanya harga minyak dan batubara bergerak seiring sejalan. Tapi kali ini harga batubara justru bergerak menguat di saat harga minyak cenderung melemah.
Rabu (5/7) lalu, harga batubara kontrak pengiriman Agustus 2017 di ICE Futures Europe naik 2,06% ke level US$ 81,55 per metrik ton. Sejak awal pekan ini (3/7), harga batubara terus naik dan membukukan kenaikan 6,46%.
Sementara harga minyak jenis light crude Rabu lalu justru turun jadi US$ 45,13 per barel. Artinya, dalam sehari harga minyak turun 4,12%.
Batubara menguat berkat prospek kenaikan konsumsi di kawasan Asia. Indikasinya, impor batubara di Korea Selatan dan Taiwan naik, masing-masing sebesar 509.186 ton dan 605.000 ton.
Impor dari Pakistan juga melesat, mencapai 1 juta ton. Tak ketinggalan impor batubara di Turki pada Mei lalu tercatat mencapai 286.000 ton. Ini angka tertinggi dalam 11 bulan terakhir.
Selain itu, output pembangkit listrik tenaga air di China tengah berkurang lantaran pemerintah China membatasi jumlah bendungan yang beroperasi akibat hujan lebat. China menutup sekitar 20.000 megawatt (MW) bendungan guna mengurangi tekanan akibat hujan.
Alhasil terjadi penurunan kapasitas pembangkit listrik hingga 6.000 MW. Pemerintah China pun beralih memakai pembangkit listrik batubara. Ini membuat permintaan batubara semakin besar.
Kebijakan China
Tapi analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menilai kenaikan harga batubara ini hanya sementara. Sebab, komoditas ini masih dihantui sentimen negatif, antara lain pengembangan energi alternatif pengganti batubara yang lebih murah dan bebas polusi, seperti tenaga surya.
Bloomberg New Energy Finance (BNEF) memprediksi, pemakaian tenaga surya di India dan China akan berkembang pesat hingga 2021. Rencana Presiden AS Donald Trump mendorong industri batubara AS kemungkinan tidak ada mampu mengangkat harga batubara. Bahkan, BNEF menilai, tenaga surya akan menyaingi biaya listrik batubara di Jerman dan AS.
Selain itu, pemerintah China mengeluarkan kebijakan penutupan jalur distribusi batubara. Pemerintah Negeri Tirai Bambu ini mengeluarkan keputusan bahwa impor batubara tidak bisa melalui pelabuhan kecil mulai 1 Juli 2017.
Hal ini berdampak pada lebih dari 150 pelabuhan kecil di seluruh China. "Padahal pelabuhan tersebut titik utama masuknya batubara," kata Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono. Hal ini bisa membuat penyerapan batubara lambat, sehingga pasokan menumpuk dan membuat harga tertekan.
Tapi masih ada sentimen positif bagi batubara. Kondisi cuaca di Indonesia dan Afrika Selatan diperkirakan dapat menggangu tambang. Belum lagi, aksi mogok kerja pada tambang di Australia berpotensi mengganggu produksi.
Wahyu menganalisa support kuat harga batubara ada di level US$ 70 per metrik ton. "Namun dalam jangka menengah, harga batubara masih bisa menyentuh US$ 65 per ton," imbuhnya.
Secara teknikal, harga batubara bergulir di atas moving average (MA) 50, MA100 dan MA200. Indikator MACD berada di area positif. Sedang relative strength index (RSI) dan stochastic naik ke level 65.
Deddy memprediksi harga batubara hari ini akan bergerak di rentang US$ 76,6-US$ 82,3 per metrik ton. Wahyu memprediksi, dalam sepekan, ke depan harga batubara akan bergerak di kisaran US$ 77-US$ 85 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News