Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hasil rapat Federal Open Market Comittee (FOMC) pekan lalu menghasilkan pandangan The Federal Reserve (The Fed) yang hawkish. Manajer investasi akan lebih aktif mengelola racikan portofolio di reksadana denominasi dollar AS.
Pertemuan FOMC pekan lalu mengubah signifikan pandangan The Fed mengenai kondisi inflasi di AS. Awalnya, The Fed mempercayai bahwa tren kenaikan inflasi yang tinggi bersifat transitory atau sementara. Namun, pandangan The Fed berbalik melihat inflasi sebagai hal struktural karena disrupsi supply chain dan kenaikan permintaan akibat stimulus era pandemi yang tinggi.
Hal tersebut berdampak pada penurunan arah kebijakan The Fed yang semula menginginkan tapering off secara bertahap, kini menjadi lebih cepat untuk menangkal inflasi yang tinggi. Kenaikan suku bunga The Fed yang awalnya diestimasikan terjadi di semester pertama 2022 juga menjadi lebih cepat seiring melihat potensi penarikan stimulus yang lebih cepat.
Sekretaris Perusahaan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR) Lydia Jessica Toisuta mengatakan kenaikan suku bunga The Fed yang lebih cepat dapat membatasi potensi kinerja dari reksadana pendapatan tetap denominasi dolar AS.
Baca Juga: Investor Tetap Incar Investasi Berisiko Meski Ada Pandemi Covid-19
Meski begitu, Lydia optimistis stabilitas harga obligasi denominasi dolar AS pemerintah akan terjaga karena didukung fundamental dalam negeri yang kuat. Ekonomi Indonesia yang semakin baik terlihat dari perspektif neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, defisit fiskal, dan premi risiko investasi di Indonesia yang semakin rendah.
Untuk tetap dapat mendapatkan imbal hasil yang optimal di tengah situasi ini, Lydia mengatakan akan melakukan pengelolaan portofolio durasi serta risiko kredit secara aktif. "Dalam pandangan kami, tren kenaikan suku bunga AS mendorong manajer investasi untuk melakukan pengelolaan portofolio lebih aktif agar dapat melampaui kinerja aset investasi konvensional," kata Lydia.
Sementara, kenaikan suku bunga AS tidak memberikan dampak signifikan pada reksadana saham denominasi dolar AS. Lydia mengatakan peningkatan inflasi yang disebabkan oleh naiknya daya beli masyarakat akan juga mendorong laju pertumbuhan kredit perbankan. Ditambah dengan tingginya harga komoditas juga berdampak positif bagi neraca pembayaran serta daya beli masyarakat. "Intinya, kami memiliki pandangan yang positif terhadap kinerja pasar saham di tahun depan," kata Lydia.
Baca Juga: Turunnya pajak obligasi jadi penyebab susutnya dana kelolaan reksadana terproteksi
Sekedar informasi, minat investor terhadap reksadana berdenominasi dolar AS terus meningkat di sepanjang tahun ini. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana kelolaan reksadana denominasi dolar AS atawa global fund naik 41,97% hingga November menjadi Rp 17,96 triliun.
Lydia mengatakan, peningkatan minat pada reksadana berbasis dolar AS terjadi karena kebutuhan investor dalam melakukan diversifikasi portofolio meningkat. "Investor juga tertarik untuk mencari imbal hasil yang tinggi dibandingkan instrumen investasi konvensional," kata Lydia.
Ke depan, Lydia memproyeksikan potensi pertumbuhan dana kelolaan di reksadana ini tinggi karena jumlah produk saat ini relatif masih sedikit.
Baca Juga: Jumlah investor pasar modal tembus 7,1 juta per akhir November 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News