Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Arus keluar dana asing, khususnya di surat berharga negara (SBN) diperkirakan masih akan berlanjut untuk jangka pendek.
Menilik data Bank Indonesia (BI), berdasarkan data transaksi 21-24 Oktober 2024, pasar SBN mencatat jual neto sebesar Rp 4,53 triliun. Menilik kepemilikan asing di pasar SBN secara harian, pada periode 25-30 Oktober tercatat alami penurunan sebesar Rp 3,1 triliun menjadi Rp 883,79 triliun.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana mengatakan terdapat kekhawatiran jika Trump memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat (AS). Karenanya, saat ini pasar cenderung beralih ke aset tidak berisiko, seperti dolar AS dan emas.
Akibatnya, dana asing mulai keluar dari portofolio di Indonesia dan turut menekan rupiah. Per Jumat (1/11), rupiah spot berada di Rp 15.732 per dolar AS, yang mana sepekan terakhir turun 0,54%.
Meski begitu, Fikri berpendapat kondisi saat ini akan berakhir pasca pilpres di AS usai. Dus, ia memproyeksikan rupiah tidak akan menembus ke level Rp 16.000 per dolar AS dan mempertahankan target rupiah pada akhir tahun 2024 di Rp 15.400 - Rp 15.500 per dolar AS.
Baca Juga: SBN Ritel Dibayangi Pelemahan Daya Beli
Dengan begitu, dana asing juga diharapkan kembali masuk, terlebih dengan pemangkasan suku bunga the Fed yang berlanjut.
Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong sependapat bahwa tekanan rupiah hanya jangka pendek. Tekanan akan terus mereda seiring pemangkasan suku bunga oleh bank-bank sentral dunia.
"Kecuali ada perubahan drastis seperti kemenangan Trump yang dikhawatirkan bukan hanya memicu inflasi di AS namun bisa berimbas ke global," sebutnya.
Karenanya, Lukman menilai untuk investor domestik pilihan instrumen investasi di tengah ketidakpastian saat ini adalah emas. Menurutnya, dengan harga internasional yang meningkat, pelemahan rupiah justru makin mendorong harga emas dalam rupiah lebih tinggi.
Baca Juga: Pemerintah akan Rilis ST013 pada 8 November 2024, Ini Diprediksi Kuponnya
Di sisi lain, pelemahan suku bunga dan menurunnya prospek pemangkasan suku bunga memiliki dampak negatif pada obligasi. Walaupun memang, dengan yield tinggi saat ini termasuk menarik untuk investasi.
Untuk pasar saham domestik, Lukman berpandangan adanya risiko dari faktor ketidakpastian Trump, perang di Ukaraina, konflik di Timur Tengah, tensi dan perang dagang AS-China, serta tingkat pertumbuhan ekonomi global yang masih belum optimal.
"Walau sentimen risk on di AS terjadi dengan terus mencetak rekor tertinggi baru, perlu diingat kenaikan di sana didukung oleh euforia kecerdasan buatan (AI) yang tidak dimiliki perusahaan domestik. Selain itu volatilitas di pasar diperkirakan juga masih akan tinggi untuk saat ini," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News