Reporter: Emir Yanwardhana | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengeluarkan wacana untuk merilis kebijakan pajak progresif untuk bidang tanah yang menganggur. Jika aturan ini jadi diimplementasikan, dikhawatirkan dapat mengganggu fundamental emiten properti.
Analis BCA Sekuritas Michael Ramba mengatakan, meski sudah diwacanakan, namun aturan ini dinilai belum jelas menguraikan tentang tanah menganggur seperti apa yang dimaksud oleh pemerintah.
”Kami masih menunggu kejelasan aturan ini, karena wacananya masih mengambang,” katanya dalam riset.
Michael menilai, belum ada kejelasan mengenai aturan ini baik ini diberlakukan untuk individual atau perusahaan. Selain itu, pemerintah juga belum menjabarkan definisi lahan tidak terpakai yang dimaksud. Karena beberapa perusahaan properti mengaku lahan undeveloped mereka sudah menggunakan lahan yang belum dikembangkan ini untuk pengerukan tanah bahkan kegiatan pertanian. Kemudian, pemerintah juga harus menjelaskan skema perpajakannya biar lebih jelas.
Tapi secara garis besar, Michael menganggap aturan ini akan memberikan dampak negatif terhadap industri properti. Pasalnya, ada potensi peningkatan biaya land bank. Bagi emiten yang memiliki land bank besar, semakin beresiko dengan skema pajak progresif ini.
Dalam hal ini, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dinilai memiliki land bank paling besar dibanding emiten lainnya.
Analis NH Korindo Bima Setiaji mengatakan, untuk jangka pendek, dampak aturan ini jika diimplementasikan, akan membuat biaya pengembangan lahan sebagai bahan baku menjadi lebih mahal. Sehingga harga jual rumah bisa meningkat.
”Ada potensi kapasitas ekspansi developer bakal terbebani juga, sehingga supply properti turun ujungnya akan menaikan harga,” kata Bima kepada Kontan, Rabu (25/1).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News