Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Musim laporan keuangan kuartal I 2017 berakhir. Hasilnya, mayoritas emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat kenaikan kinerja. Berdasarkan data BEI, total ada 415 emiten yang melaporkan performanya. Sebanyak 326 emiten membukukan laba bersih.
Dari 326 emiten itu, 247 perusahaan di antaranya mencetak peningkatan laba bersih. Sementara 168 emiten lain mengalami penurunan laba. Sedangkan 89 emiten tercatat merugi. Dan, ada tujuh emiten yang menorehkan ekuitas yang negatif.
Total pendapatan 326 emiten yang mencetak laba bersih di kuartal pertama tahun ini mencapai Rp 659,32 triliun. Angka itu naik 6,5% dari Rp 618,8 triliun pada kuartal yang sama tahun lalu. Sedang keseluruhan laba bersihnya sebesar Rp 79,77 triliun, tumbuh 15%. "Kami mencatat, ada dua sektor yang mengalami peningkatan kinerja tinggi dibanding sektor lain, yaitu perkebunan dan pertambangan," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat.
Emiten di dua sektor ini membukukan kenaikan laba bersih rata-rata di atas 100% dibandingkan denganĀ kuartal I 2016. Pendorongnya adalah, harga komoditas yang membaik.
Kenaikan harga komoditas itu mengerek pendapatan emiten yang akhirnya mendongkrak laba bersih mereka. Contoh, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) yang per kuartal I 2017 mencatat laba bersih US$ 55,97 juta. Padahal, periode yang sama 2016 mereka merugi US$ 1,3 juta. Lalu, PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) mengukir pertumbuhan laba bersih hingga lebih dari 10 kali lipat menjadi Rp 469,7 miliar.
Menurut Samsul, kenaikan itu didorong oleh perekonomian yang terus tumbuh. Sepanjang 2016, Indonesia mencetak pertumbuhan 5,02%. Torehan itu masih lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global yang hanya 3,1%. Tahun ini, pemerintah akan menjaga target pertumbuhan 5,1%. "Indonesia masih memiliki ruang cukup untuk mendorong pertumbuhan dengan kebijakan ekonomi yang ekspansif," ujar dia.
Ada sinyal negatif
Di sisi lain, kinerja yang moncer tersebut juga lantaran raihan laba bersih emiten pada kuartal I 2016 jeblok. Sehingga, ketika ada perbaikan, pertumbuhannya jadi sangat tinggi. Tapi, pertumbuhan ini belum tentu bisa bertahan di level atas.
Sebab, untuk sektor perkebunan, sinyal negatif justru muncul dari dalam negeri. Pemerintah memutuskan untuk menetapkan kuota biodiesel yang lebih rendah mulai Mei hingga Oktober. "Ini sentimen negatif karena permintaan dari dalam negeri akan melemah," kata Ivy NG, Analis CIMB Sekuritas, dalam risetnya.
Kendati demikian, permintaan dari pasar ekspor diharapkan masih tetap tinggi. Apalagi, pemerintah berkomitmen membuka lebar pintu ekspor minyak sawit (CPO) ke China.
Sementara, menurut Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Andy Wibowo Gunawan, sektor tambang batubara relatif lebih aman. Permintaan dari dalam maupun luar negeri masih cukup besar, seiring banyaknya proyek pembangkit listrik dan rendahnya stok batubara China
Bima Setiaji, Analis NH Korindo Securities, yakin kinerja para emiten masih akan tetap solid hingga akhir 2017. Efeknya, rasio harga saham terhadap laba alias price to earning (PE) ratio IHSG akan mengecil. Konsensus menunjukkan, PE indeks berada di level 13,4 kali pasca rilis laporan keuangan kuartal I 2017, turun ketimbang rata-rata PER indeks lima tahun terakhir yang 14 kali. "Dengan valuasi inilah, ada harapan IHSG tidak turun dalam," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News