kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.123.000   1.000   0,05%
  • USD/IDR 16.622   -13,00   -0,08%
  • IDX 8.040   -11,08   -0,14%
  • KOMPAS100 1.118   -5,53   -0,49%
  • LQ45 804   -6,09   -0,75%
  • ISSI 279   0,16   0,06%
  • IDX30 422   -0,76   -0,18%
  • IDXHIDIV20 484   -1,72   -0,35%
  • IDX80 122   -0,75   -0,61%
  • IDXV30 132   -0,23   -0,18%
  • IDXQ30 134   -0,95   -0,70%

Secercah harapan dari instrumen keuangan di 2016


Kamis, 07 Januari 2016 / 07:40 WIB
Secercah harapan dari instrumen keuangan di 2016


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Habis gelap terbitlah terang! Pepatah ini terasa paling pas mewakili harapan investor di pasar modal domestik. Ketidakpastian yang menghantui sepanjang 2015 membuat kinerja banyak instrumen investasi jeblok.

Pasar saham terus berada di bawah tekanan. Sementara harga obligasi ikut melempem. Alhasil, kinerja produk turunannya juga ikut-ikutan melorot.

Tahun 2016, risiko yang mungkin muncul dari global tetap membayangi perjalanan pasar modal Indonesia. Pardomuan Sihombing, Direktur PT Recapital Asset Management menyebut, harapan satu-satunya justru ada di sisi domestik. Kalau kinerja ekonomi pemerintah bisa sesuai target, investor bisa berharap kondisi akan sedikit membaik.

Nah, bagaimana prospek investasi berbasis instrumen keuangan di tahun 2016?


• Saham
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencoba menutup tahun 2015 dengan catatan manis. Hari terakhir perdagangan, 30 Desember 2015, indeks berhasil naik 0,52% ke posisi 4.593,008. Namun, duka sebagian investor hampir sepanjang tahun lalu belumlah pupus.

Sepanjang 2015 IHSG terkoreksi 12%. Berbanding terbalik dengan kondisi 2014 kala pertumbuhannya mencapai 21,15%. Pertanyaannya, bagaimana dengan proyeksi IHSG tahun ini?

Analis senior Panin Sekuritas, Purwoko Sartono menilai, bauran sentimen negatif dari luar negeri dengan yang cenderung positif dari dalam negeri menerbitkan secercah harapan buat investor di pasar saham lokal. Sepanjang pertumbuhan ekonomi 5,2% bisa tercapai, ditambah ekspektasi pertumbuhan earning per share (EPS) emiten rata-rata 15%, posisi 5.650 tahun ini bukan hal yang mustahil. Level ini setara dengan price-earnings (PE) 19 kali.

Pardomuan jauh lebih pesimistis. Potensi kenaikan suku bunga The Federal Reserve secara bertahap tahun 2016 dan perlambatan ekonomi China akan membikin IHSG berfluktuasi.

Dus, target yang konservatif, di kisaran 5.000-5.200 diyakini lebih mungkin diraih IHSG tahun depan. Jika dibanding penutupan perdagangan 2015, masih ada potensi kenaikan sekitar 8,86% hingga 13,21%.

Sejumlah sektor diyakini masih menunjukkan prospek menarik. Purwoko dan Pardomuan sependapat, sektor-sektor yang terkait infrastruktur paling menarik untuk dicermati. Peluang ini muncul seiring dengan anggaran belanja infrastruktur yang makin besar dan realisasinya yang diupayakan kian cepat.

Belanja infrastruktur yang dianggarkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 mencapai Rp 313,5 triliun. Lebih tinggi ketimbang pos yang sama pada APBN Perubahan 2015, cuma Rp 290,4 triliun.

Dari sisi serapan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melelang 7.897 paket pekerjaan mulai September 2015–Desember 2015. Dengan begitu, pada awal tahun, anggaran infrastruktur bisa terserap paling tidak sekitar 6%. Biasanya, persentase sekecil itu pun baru tercapai pada Juni.

Sektor lain yang bisa dilirik adalah consumer goods, seiring harapan membaiknya daya beli masyarakat sebagai efek harga energi yang rendah. Per 5 Januari 2016, harga bensin premium turun Rp 150 per liter menjadi Rp 7.150 dan solar turun Rp 750 menjadi Rp 5.950 per liter.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memutuskan penurunan tarif listrik 12 golongan pelanggan nonsubsidi per Januari 2016. Besaran penurunan hingga Rp 100 per kilo Watt hour (kWh). Tarif pelanggan rumah tangga 1.300 volt ampere (VA) ke atas misalnya, turun dari Rp 1.509,38 per kWh menjadi Rp 1.409,16 per kWh.

Harga bahan bakar dan tarif listrik memang akan dinamis, menyesuaikan harga minyak dunia. Namun, tekanan yang dihadapi si emas hitam belum akan berakhir tahun depan.

Salah satu saham di sektor consumer goods yang bisa menjadi pilihan, kata Purwoko, adalah PT Gudang Garam Tbk (GGRM). Alasannya sederhana saja. Kenaikan cukai beberapa tahun terakhir cukup memukul produsen rokok. Namun, daya tahan GGRM terbukti relatif lebih bagus. Target harga hingga akhir 2016 di Rp 57.400 per saham direkomendasikan Purwoko. Akhir 2015 harga GGRM baru Rp 55.000 per saham.

Namun Trimegah Securities lewat riset yang dikirimkan Kepala Risetnya, Sebastian Tobing kepada KONTAN lebih menjagokan saham Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Pertimbangannya, posisi dominan ICBP di beberapa produk yang selama ini menjadi unggulan, misalnya mi instan, membuat perusahaan itu menjadi price maker. Pertimbangan lainnya, harga komoditas yang rendah, seperti minyak sawit, akan memperbaiki margin ICBP tahun depan.

Per 30 Desember 2015, harga ICBP ada di Rp 13.475 per saham. Trimegah sendiri memasang rekomendasi beli dengan target harga Rp 16.600 per saham.

Sektor perbankan dan properti juga diharapkan akan menggeliat. Prospeknya akan lebih mencorong jika Bank Indonesia akhirnya benar-benar memanfaatkan ruang penurunan BI rate. Cost of fund pengusaha bakal berkurang, dan daya beli masyarakat bakal kian terdongkrak.

Dari sektor perbankan, Purwoko menjagokan PT Bank BCA Tbk (BBCA) dengan target harga hingga akhir 2016 di Rp 16.000 per saham. Pada penutupan perdagangan 2015, BBCA dikunci di Rp 13.300 per saham

Namun Sebastian, lebih menjagokan Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI). Bank pelat merah yang berstatus jawara di kredit bagi golongan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM) itu akan menikmati berkah program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang digelar pemerintah. Target harga yang disematkan untuk BBRI
di Rp 13.300 per saham. Posisi terakhir 2015, BBRI ada di Rp 11.425 per saham.

Selain itu Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga menjadi saham pilihan Trimegah dengan target harga Rp 5.500 per saham. Senada, Purwoko juga menjagokan BBNI dengan target harga yang lebih tinggi, yakni di Rp 7.000 per saham. Saham BBNI pada 30 Desember 2015 nangkring di Rp 4.990 per saham.


• Reksadana
Instrumen-instrumen investasi di pasar keuangan yang relatif lebih low risk menunjukkan tajinya tahun lalu. Di reksadana, ini terlihat dari kinerja reksadana pasar uang yang paling mencorong.

Hingga 28 Desember 2015, Infovesta Money Market Fund Index yang merupakan proksi kinerja rata-rata reksadana pasar uang mencetak kenaikan 6,42% (year-to-date/ytd). Disusul indeks reksadana pendapatan tetap, Infovesta Fixed Income Fund Index yang tumbuh 3,12%.

Sebaliknya, produk reksadana yang mengandung instrumen saham malah tak bergigi. Rata-rata kinerja reksadana campuran yang terekam di Infovesta Balanced Fund Index turun 7,74% dari posisi akhir tahun 2014. Sementara reksadana saham yang tercermin dari Infovesta Equity Fund Index malah nyungsep 15,72%.

Itu cerita tahun lalu yang mungkin terasa pahit bagi sebagian investor. Lantas, bagaimana nasib kinerja reksadana tahun ini? Nada optimistis rupanya sudah mulai muncul di permukaan.

Agus B Yanuar, Presiden Direktur Samuel Asset Management menyebut, perlambatan ekonomi, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat, serta perlambatan di sektor usaha saat ini sudah terefleksi di pasar modal. Hampir seluruh analis juga memprediksi indikator makroekonomi yang lebih realistis ketimbang tahun pertama Pemerintahan Joko Widodo.

Sentimen global, minus China, juga relatif terbaca dan menjauhi area ketidakpastian. Dengan begitu, investor global akan mulai mencari aset-aset yang lebih berisiko, termasuk di emerging market seperti Indonesia. “Jadi ada kemungkinan kondisi 2016 akan lebih baik,” ujar Agus.

Ujung-ujungnya, minat manajer investasi menerbitkan reksadana baru yang lebih high risk namun high return tetap terpelihara. Samuel sendiri berencana menerbitkan beberapa reksadana baru mulai kuartal II 2016. Yang paling banyak kemungkinan dari jenis reksadana saham.

Namun, agar tak kembali tercebur, Mark Prawirodidjojo, analis riset PT Infovesta Utama mewanti-wanti peminat reksadana baru untuk menyesuaikan produk yang dipilihnya dengan jangka waktu, kebutuhan likuiditas, serta profil risiko masing-masing investor.

Kemudahan melakukan switching ke jenis yang sama atau produk berbeda juga dapat menjadi pertimbangan investor dalam memilih reksadana. “Fleksibilitas tersebut dapat mempermudah investor dalam melakukan switching apabila kebutuhan investor berubah, atau investor ingin mengubah strategi investasinya,” ujar Mark.

Kinerja reksadana tahun 2016 memang diprediksi akan lebih baik ketimbang tahun ini. Namun, investor tetap perlu mengantisipasi potensi mengantisipasi ketidakpastian kondisi investasi yang mungkin saja terjadi.

Untuk itu Beben Feri Wibowo, sejawat Mark di PT Infovesta Utama menyarankan investor menggunakan strategi cost averaging. Strategi cost averaging merupakan strategi yang dilakukan dengan cara installment atau mencicil, misalnya setiap bulan.

Keuntungan dari strategi ini, investor tidak terfokus pada kondisi market untuk melakukan investasi karena pembelian reksadana dilakukan secara terus menerus dan berkala. “Namun demikian, perlu diketahui bahwa cost averaging umumnya lebih cocok digunakan untuk investasi jangka panjang misalnya di atas 5 tahun,”
saran Beben.

Kondisi pasar keuangan yang sedikit lebih baik juga tercermin dari proyeksi kinerja reksadana tahun 2016. Mark memperkirakan, kinerja rata-rata reksadana saham pada 2016 ada di kisaran 11%-15% dan reksadana campuran sebesar 9%-12%. Sementara kinerja rata-rata reksadana pendapatan tetap dan pasar uang masing-masing di kisaran 7%–8% dan 6%–7%.

Seirama, Agus mengkalkulasi imbal hasil reksadana saham bisa di kisaran 10,5%-15%, campuran 9%-12%. Sedangkan reksadana pendapatan tetap bisa di kisaran 7%-9%.


• Obligasi
Tahun 2015 menyisakan cerita kerugian dari sisi capital gain yang melanda sebagian investor di instrumen obligasi. Terutama di jenis Surat Utang Negara (SUN). Penyebab utamanya, ketidakpastian yang dipicu spekulasi jadi tidaknya kenaikan bunga acuan Amerika Serikat yang baru berakhir di bulan terakhir 2015.

Dalam catatan fixed income analyst MNC Securities, I Made Adi Saputra, secara rata-rata, yield obligasi naik 1% (year-to-date/ytd 28 Desember 2015). Kenaikan paling tinggi terjadi di obligasi bertenor 1 tahun–5 tahun, yakni rata-rata mencapai 1,19%. Akibatnya, harga obligasi juga tertekan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Business Contract Drafting GenAI Use Cases and Technology Investment | Real-World Applications in Healthcare, FMCG, Retail, and Finance

[X]
×