Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang akhir tahun, seiring momentum rekor Indeks Harga Saham Gabungan, tak ada salahnya investor menata kembali portofolionya. Di saat valuasi sebagian saham bluechip tinggi, investor bisa melirik saham lapis kedua.
Ketika valuasi pasar mulai tinggi, belanja saham bluechips tak bisa sembarangan. Jika harganya sudah tinggi, margin keuntungan bisa menciut, bahkan menguap. Maka, melirik saham lapis kedua alias second liner bisa menjadi pertimbangan. Lantas, mana saja saham lapis kedua yang masih legit?
Ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan pelaku pasar sebelum memilih saham lapis kedua. Satu di antaranya adalah valuasi.
Analis Royal Investium Sekuritas Wijen Pontus bilang, investor bisa memilih saham lapis kedua yang sudah undervalue. Dia merekomendasikan tiga saham, yakni AISA, JPFA dan SCMA. "Fundamentalnya masih bagus dan harga relatif murah," kata Wijen, kemarin.
Soal AISA, Wijen melihat emiten ini sempat terkena sentimen negatif dari dugaan pelanggaran hukum. Tapi dari sisi bottomline, laba menyusut akibat kebijakan pemerintah tentang harga eceran tertinggi (HET) beras. Ternyata koreksi laba tak setajam penurunan harga sahamnya di pasar. "Sehingga harga AISA bisa dibilang undervalue," imbuh dia.
Demikian halnya JPFA. Saham ini sudah turun lebih dari 30% dari titik tertinggi. Harga JPFA berpotensi rebound, meski sifatnya jangka pendek.
Begitu pula SCMA, yang sudah turun 50% dari posisi all time high-nya. "Sementara kinerjanya stabil. Ini berarti, penurunan harga SCMA merupakan potensi," ungkap Wijen.
Nilai wajar SCMA di Rp 2.600 per saham, JPFA Rp 1.500 dan AISA Rp 1.400. Wijen merekomendasikan buy on weakness ketiga saham itu. Nilai wajar yang sekaligus menjadi target harga emiten ini bisa tercapai kurang dari enam bulan. "Maksimal April 2018," tambah dia.
Transaksi ramai
Bertoni Rio, Senior Analyst Research Division Anugerah Sekuritas Indonesia, menjabarkan ada beberapa emiten lapis dua yang masih menarik. Misalnya KAEF, INAF, NIKL dan GIAA. "Alasannya, emiten itu jauh dari delisting, bid dan offer relatif ramai, dividen, ada potensi laporan keuangan lebih baik," ungkap dia.
Untuk empat saham itu, Rio merekomendasikan buy KAEF di level 2.500 dan sell di 3.200, INAF buy di 2.150 dan sell di 3.900, NIKL buy 2.600 dan sell 6.600, dan GIAA buy di 319 dan sell di 400. "Di jangka menengah atau panjang biasanya mempertimbangkan valuasi dari riset analis," tutur dia.
Selain valuasi saham, emiten lapis kedua yang terkena efek positif kebijakan pemerintah bisa dilirik. Semisal, program infrastruktur Presiden Joko Widodo berupa pemerataan listrik sampai 97% pada 2019. Kemudian pembangunan power generator berkapasitas 35 GW. "Untuk small cap, saya suka KBLI, yang menjadi pemasok kabel terbesar proyek ini ke PLN," ungkap Liyanto Sudarso, Investment Analyst MNC Asset Management.
Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menyatakan, emiten lapis dua memiliki kapitalisasi pasar lebih rendah. Ini membuat peluang untuk masuk ke saham itu terbuka lebar. Dari sisi fluktuasi, memang lebih menarik untuk trading dibandingkan saham-saham big caps.
Dia menjagokan INKP dengan target 4.250, INDY pada 2.200, BRPT pada 2.300, EMDE pada 425, DOID pada 1.100, BBHI pada 250, dan SRIL pada 450. Semua saham tersebut dapat rekomendasi buy. "Saham yang valuasinya masih rendah, memiliki potensi besar untuk tumbuh," terang Reza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News