Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari ini tak terlepas dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. IHSG ditutup turun 18,21 poin atau setara 0,29% ke level 6.337,69 pada Jumat (20/4).
Hari ini, rupiah bahkan menyentuh posisi terlemah sejak 1 Februari 2016 dan menembus kisaran perdagangan yang diperkirakan Bank Indonesia. Kurs tengah BI pada Jumat (20/4) berada pada level Rp 13.804 per dollar AS.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menyebut, pelemahan indeks kali ini terhubung dengan pelemahan rupiah. Mata uang garuda tertekan akibat antisipasi kenaikan suku bunga AS alias Fed Fund Rate (FFR).
Kata Aditya, pelemahan rupiah kali ini belum cukup mengkhawatirkan, namun sudah bisa menjadi warning bagi bank sentral. “Faktor pelemahan ini cenderung dari sisi eksternal, karena dari dalam negeri sendiri masih stabil,” katanya kepada KONTAN, Jumat (20/4).
Indeks terimbas pelemahan rupiah, karena banyak emiten yang memiliki eksposur terhadap pelemahan mata uang rupiah. Diantara sektor yang paling terpangaruh adalah farmasi, aneka industri, barang konsumsi dan otomotif. Di sisi lain, emiten yang bisa mendapat pengaruh positif diantaranya perkebunan, perikanan dan sektor perdagangan. Menurut Aditya, emiten yang bisa dicermati antara lain seperti DSFI, IIKP, ITMG, dan SRIL.
Lanjutnya, penurunan indeks dalam 1-2 hari masih belum masalah. Ada potensi indeks bisa rebound. Namun, tetap perlu diantisipasi apabila pelemahan ini terus berlanjut. Katanya, perlu melihat volatilitas dan level pelemahan rupiah.
“Efek tekanan rupiah bisa memberikan kenaikan inflasi. Barang impor naik, harga jual naik, maka pengeluaran naik. Kalau inflasi naik, maka suku bunga bisa naik,” lanjut Aditya.
Perkiraan Aditya, FFR tahun ini bisa naik hingga empat kali. Dia juga merevisi target IHSG akhir tahun dari 6.800 menjadi 6.400. Hal ini lantaran adanya sentimen perang dagang dan tekanan dari The Fed. Namun, pihaknya masih membuka peluang revisi, apabila nanti Pilkada maupun kinerja emiten pada semester I cukup bagus.
“Kemungkinan besar di semester II, BI bisa menaikkan suku bunga acuan satu kali,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News