Reporter: Albertus M.P, Wahyu Satriani A.W., Rika Theo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Setelah Indonesia menyabet investment grade, pasar Surat Utang Negara (SUN) semakin bergairah. Harga SUN bertenor 10 tahun melambung mencapai rekor tertinggi dalam empat bulan pada pekan lalu. Analis obligasi memprediksi, kenaikan harga SUN dan penurunan imbal hasil (yield) masih terbuka, meski tidak besasr.
Semarak pasar SUN terlihat dari hasil dua lelang SUN yang berlangsung di awal tahun ini. Lelang pertama pada Selasa (10/01), permintaan penempatan dana yang masuk dari investor mencapai Rp 27,6 triliun. Angka itu hampir empat kali lipat daripada target perolehan dana pemerintah, yang cuma Rp 7 triliun.
Lelang kedua di Kamis (26/01) lebih ramai lagi. Dari target Rp 7 triliun, permintaan penempatan dana yang masuk delapan kali lipatnya, yakni Rp 50,13 triliun. Akhirnya, pemerintah pun mengambil lebih banyak dari target yaitu sebesar Rp 10,5 triliun.
Tingginya minat investor itu melambungkan harga SUN mulai yang bertenor pendek hingga panjang. SUN seri benchmark FR0061 yang betenor 10 tahun menyentuh harga tertinggi sejak Oktober 2011 pada level 111,630, di Kamis (26/01). Yield-nya pun merosot menjadi 5,503%.
Harga SUN seri acuan FR0058 sudah mendaki duluan. Pada Senin (23/01), SUN berjangka 20 tahun itu, menembus harga tertingginya di level 118,005, dengan yield sebesar 6,626%.
Desmon Silitonga, analis Millenium Danatama Indonesia Asset Management, mengatakan, dengan meraih peringkat investment grade, Indonesia punya peluang besar kebanjiran dana asing, baik dana jangka pendek maupun dana panjang. "Peringkat ini juga secara langsung akan membuat risk premium Indonesia turun," kata Desmon. Aliran dana asing dan penurunan premi risiko Indonesia itulah yang akan mengerek harga SUN tahun ini.
Fadlul Imamsyah, Head of Equity Investment CIMB Principal Asset Management, optimistis harga SUN masih bisa menanjak. Alasan Fadlul, Bank Indonesia (BI) kini giat menggunakan SUN sebagai instrumen kebijakan moneternya. "Faktor positif masih lebih dominan daripada sentimen negatifnya," kata Fadlul. BI memiliki amunisi dana sekitar Rp 70 triliun hingga Rp 80 triliun untuk mendukung operasi tersebut.
Sudah makin terbatas
Biar begitu, kenaikan harga SUN, menurut Fadlul, sudah tidak akan terlalu tinggi. "Yield obligasi pemerintah saat ini sudah semakin rendah, hingga ruang untuk penurunannya lagi sudah terbatas. Dengan demikian kenaikan harga SUN di pasar sekunder juga akan terbatas," ujar dia.
Dia menduga, yield obligasi pemerintah akan turun apabila laju inflasi sepanjang 2012 ini turun. Asumsi tersebut mempertimbangkan bahwa ekspektasi yield SUN satu tahun relatif mengikuti pergerakan inflasi sepanjang satu tahun. Dia mencontohkan, saat ini yield obligasi pemerintah bertenor satu tahun sekitar 3,8% hingga 3,9%.
"Inflasi satu tahun juga sama sekitar 3,8%. Kalau dengan tenor yang lebih panjang, maka ekspektasi yield-nya adalah inflasi plus risk premium. Sehingga kalau inflasi turun, maka yield juga akan turun," ujar dia.
Namun, laju inflasi bisa menjadi senjata yang memukul balik harga SUN. Apabila pemerintah jadi membatasi penggunaan bahan bakar (BBM) atau justru menaikkan harga BBM, inflasi pasti akan naik sehingga yield SUN juga terkerek dan harga SUN melemah. "Pergerakan yield akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terkait BBM," kata Syuhada Arief, Vice President Investment CIMB Principal Asset Management akhir pekan lalu.
I Made Adi Saputra, analis obligasi NC Securities, menambahkan, kenaikan harga SUN kini terbatas karena imbal hasil SUN saat ini sudah semakin rendah. Tak hanya itu, akumulasi yang dilakukan investor asing juga dipengaruhi oleh kestabilan nilai tukar rupiah. Apabila nilai tukar rupiah melemah, ada potensi asing akan melakukan penjualan. "Ini akan mendorong harga SUN kembali turun," imbuh I Made.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News