kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Analis: BI perlu mengerek suku bunga demi menjaga rupiah jangka panjang


Selasa, 24 April 2018 / 16:01 WIB
Analis: BI perlu mengerek suku bunga demi menjaga rupiah jangka panjang
ILUSTRASI. Uang rupiah


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam menyikapi pelemahan nilai tukar rupiah ke depan sangat berpengaruh terhadap arah rupiah dalam jangka panjang. Jika salah langkah, maka rupiah berpotensi menyentuh level Rp 15.000 per dollar AS.

Vice President Research Analysis Valbury Asia Futures Nico Omer Jonckheere mengatakan, meskipun BI bersikap lebih hawkish belakangan ini untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI-7 Day Referse Repo (BI-7DRR), tapi itu belum direncanakan.

Kondisi tersebut membuat investor memandang BI terlalu compliant. Sehingga, jika BI terlalu lama menunggu untuk mengerek suku bunga acuan, bisa jadi memang sedikit menimbulkan kepanikan. "Rupiah bukan tidak mungkin bisa ke level Rp 15.000 per dollar AS. Itu mungkin, apalagi dengan Pemilu presiden tahun depan, hati-hati," kata Nico di Jakarta, Selasa (24/4).

Menurut Nico, jika BI tidak menaikkan suku bunga acuan, maka bisa terjadi kepanikan di pasar keuangan, lantaran spread antara suku bunga BI dengan The Fed akan semakin kecil. Sementara, tahun ini, The Fed berencana untuk terus menaikan suku bunga acuannya atau Fed Fund Rate (FFR).

"Saya kira, sampai dengan Pemilu presiden 2019, (rupiah) masih akan di bawah tekanan, harus hati-hati," paparnya.

Sementara, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan Bursa Efek Indonesia (BEI) Hamdi Hassyarbani menilai, pelemahan rupiah yang terjadi saat ini, tentu berdampak pada indeks saham, yang masih melanjutkan penurunan.

"Tapi namanya pasar, menurut saya, itu dinamika biasa. Dampaknya jangka pendek," ungkapnya di Gedung BEI, Selasa (24/4).

Bahkan, dilihat dari aktivitas transaksi di bursa, menurut Hamdi, pergerakannya masih biasa saja. Selain itu, kecenderungan net sell yang dilakukan investor asing masih seiring dengan aktivitas net buy. "Buat bursa, yang penting transaksinya banyak. Kalau banyak net sell kan banyak juga yang beli, jadi dua sisi yang sama, jadi enggak apa-apa," jelas Hamdi.

Sementara, Gubernur Bank Sentral Agus D.W Martowardojo menyampaikan pernyataan resmi dari Washington pada Selasa (24/4) pagi. Ia menyebut, pihaknya akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah.

"Baik yang dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China, kenaikan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Indonesia," ungkap Agus, Selasa (24/4).

Risiko pelemahan yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik akan terus diwaspadai. Itu terkait kebutuhan pembayaran impor, utang luar negeri (ULN), dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II-2018.

Untuk itu, BI akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya. "Kami juga telah melakukan intervensi baik di pasar valas, maupun pasar surat berharga negara (SBN) dalam jumlah cukup besar," imbuh Agus.

Hal tersebut dibuktikan dari pergerakan nilai tukar rupiah pada Jumat (20/4) yang sempat terdepresiasi sebesar 0,70%, sedangkan pada Senin (23/4) hanya melemah 0,12%.

"Lebih rendah daripada depresiasi yang terjadi pada mata uang negara-negara emerging market dan Asia lainnya, seperti PHP -0,32%, India INR -0,56%, Thai THB -0,57%, MXN -0,89%, dan Afrika Selatan ZAR -1,06%," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×