Berita Market

Tahir Beli Saham BKSL Kemahalan, Jual Kemurahan

Sabtu, 09 Maret 2019 | 08:00 WIB
Tahir Beli Saham BKSL Kemahalan, Jual Kemurahan

Reporter: Tedy Gumilar | Editor: Tedy Gumilar

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Siapa pebisnis tanah air yang tak kenal Dato' Sri Tahir? Dermawan menantu Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, itu terkenal lewat kelompok usaha yang ia dirikan, Grup Mayapada.

Orang terkaya nomor empat di Indonesia versi Majalah Forbes, itu juga kerap memantik perhatian lewat sejumlah rencana bisnisnya. Salah satunya, saat pada pertengahan Januari 2017 ia mencetuskan keinginan mencaplok saham PT Bank Permata Tbk (BNLI).

Sebagai langkah awal, pengusaha dengan harta sekitar US$ 4,5 miliar menurut Forbes, itu ingin mengambil alih 44,56% saham BNLI dari tangan Standard Chartered. Lalu, menguasai saham dari tangan pemilik lainnya, yakni PT Astra International Tbk (ASII) yang juga punya 44,56% saham BNLI. Lantas, Tahir berambisi menggabungkan Bank Permata dengan Bank Mayapada Internasional Tbk (MAYA).

Setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 2018, Tahir kembali menjadi perbincangan. Kali ini bukan terkait ambisinya menguasai Bank Permata yang hingga kini belum terwujud. Melainkan soal langkah Jonathan Tahir yang memutuskan masuk sebagai salah satu pemilik PT Sentul City Tbk (BKSL).

Anak laki-laki Dato' Sri Tahir satu-satunya, itu memborong saham emiten properti yang berbasis di Sentul, Kabupaten Bogor tersebut. Jonathan menggelontorkan dana sebesar Rp 1,17 triliun demi menguasai 6,07% saham BKSL.

Data RTI menunjukkan, 3,35 miliar saham BKSL ditransaksikan di pasar negosiasi dengan harga Rp 350 per saham. Jonathan menebus saham BKSL dengan harga premium lantaran harga pasar BKSL kala itu hanya Rp 147 per saham.

Berdasar dokumentasi pemberitaan KONTAN, Dato' Sri Tahir kala itu menyebut beberapa alasan membenamkan duit triliunan rupiah di BKSL. Ia menakar BKSL memiliki prospek yang cerah lantaran disokong pembangunan light rail transit (LRT). Sentul City juga dinilai punya konsep city resort yang cukup menarik.

Selain itu, valuasi BKSL dinilai masih di bawah harga wajar. "Nilai asetnya masih undervalued, dan Sentul merupakan lokasi yang sangat strategis," katanya kepada KONTAN, 25 Februari 2018 lalu.

Namun, selang sekitar setahun kemudian, ia mengambil langkah berbeda. Bukannya menambah kepemilikan, Jonathan Tahir justru tiga kali melego saham BKSL.

Transaksi pertama berlangsung pada 27 Februari 2019 saat Jonathan Tahir menjual 250 juta saham BKSL. Dus, kepemilikannya atas BKSL tinggal 5,62%, atau setara 3.104.177.360 saham. Padahal, sehari sebelumnya, ia masih mengempit 6,07% saham BKSL.

Sehari berikutnya, Jonathan Tahir kembali melego 3 juta saham Sentul City. Walhasil, kepemilikannya kembali berkurang hingga tinggal 5,61%.

Transaksi ketiga terjadi pada 1 Maret 2019, kala Jonathan melepas 13,8 juta saham BKSL. Kepemilikannya pun kian menyusut menjadi 5,59%.

Data-data soal penjualan saham BKSL oleh Jonathan ini tercantum dalam laporan kepemilikan saham yang disampaikan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia ke Bursa Efek Indonesia, pada 28 Februari 2019, 1 Maret dan 4 Maret 2019.

Menyoal transaksi ini, Dato' Sri Tahir menyebut tidak ada yang istimewa dari transaksi yang dilakukan putranya tersebut. Pun ia menampik jika penjualan tersebut lantaran menganggap prospek BKSL sudah kurang menarik. "Jual-beli biasa saja," ucap Tahir ke KONTAN, (8/3).

Cut loss

Walaupun disebut jual-beli biasa, transaksi ini tetap menarik untuk disimak. Sebab, bisa dibilang Jonathan sudah melakukan cut loss (jual rugi) atas saham BKSL. Pasalnya, harga saham BKSL pada saat kedua transaksi penjualan itu digelar jauh di bawah harga beli pada 31 Januari 2018 lalu, yang tercatat di harga Rp 350 per saham.

Pertama, pada 27 Februari 2019, harga saham BKSL ditutup di Rp 129 per saham. Pada hari itu, terjadi crossing saham BKSL di pasar negosiasi sebanyak 195 juta saham. Samuel Sekuritas Indonesia bertindak sebagai penjual dan pembeli untuk transaksi di harga Rp 129 senilai total Rp 25,2 miliar.

Selain itu juga ada transaksi negosiasi lewat KGI Sekuritas Indonesia sebagai penjual dan RHB Sekuritas Indonesia sebagai broker pembeli sebanyak 827.500 saham. Nilai transaksinya sekitar Rp 120 juta di harga Rp 145 per saham.

Jika menggunakan patokan harga penutupan di Rp 129 per saham, artinya ada selisih Rp 221 per saham dibanding harga beli Jonathan Tahir pada 31 Januari 2017. Atau, selisihnya senilai total Rp 55,25 miliar jika dihitung dari 250 juta saham BKSL yang ia jual hari itu.

Kedua, pada 28 Februari 2018 harga BKSL dikunci di Rp 126 per saham. Hari itu terjadi dua transaksi di pasar negosiasi. Pertama sebanyak 8 juta saham di harga Rp 138 per saham. Transaksi senilai total Rp 1,1 miliar, itu dilakukan melalui RHB Sekuritas Indonesia.

Transaksi negosiasi berikutnya terjadi di harga Rp 126 per saham sebanyak 7,76 juta saham dengan nilai total Rp 977,8 juta. Reliance Sekuritas Indonesia bertindak sebagai broker pembeli dan NH Korindo Sekuritas Indonesia sebagai penjual.

Nah, kalau dihitung dari harga penutupan di Rp 126 per saham, artinya ada selisih Rp 224 per saham. Atau selisihnya senilai total Rp 672 juta jika dihitung dari 3 juta saham yang dijual Jonathan pada 28 Februari 2019.

Ketiga, pada 1 Maret 2019 harga BKSL ditutup di Rp 126 per saham. Dus, ada selisih Rp 224 per saham, atau senilai total Rp 3,091 miliar.

Jadi, dari ketiga transaksi yang dilakukan Jonathan Tahir selama tiga hari perdagangan berturut-turut, ada selisih sekitar Rp 59,013 miliar dibanding harga beli.

Tak urung, serangkaian aksi jual ini kian mendorong koreksi harga saham BKSL. Saham pengembang properti itu sempat mencetak rekor harga tertinggi sejak awal Juni 2018, yakni pada 22 Februari 2019 di Rp 145 per saham. Namun sejak itu harganya terus melorot. Pada perdagangan Kamis (8/3) saham BKSL ditutup turun 2,54% ke Rp 115 per saham.

Dus, jika aksi jual terus berlanjut dalam waktu dekat, harga saham BKSL bisa semakin terbenam.

Selain itu, bisa dibilang Jonathan Tahir menjual saham BKSL dengan harga kemurahan. Perhitungan KONTAN berdasar laporan keuangan per September 2018, nilai aset bersih (net asset value/NAV) per saham BKSL ada di Rp 186,22.

Di sisi lain, berdasar data RTI, harga buku per sahamnya adalah Rp 186 per saham. Sedangkan rasio price to book value (PBV) BKSL ada di level 0,63 kali.

Lantas, kenapa BKSL tidak pernah anteng bermain di kisaran harga wajarnya, atau bahkan terus bergerak di atas harga wajar?

Sebagai informasi, sejak 2013 PBV BKSL memang selalu di bawah 1 kali. Jika diukur dalam lima tahun terakhir, harga tertinggi yang pernah digapai oleh BKSL terjadi pada 2 Maret 2018, yakni di Rp 230 per saham.

William Hartanto menyebut, PBV emiten properti yang melandai dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya terjadi pada BKSL. Ini lantaran harga saham sebagian emiten properti memang dalam tren meluncur turun. Di sisi lain, imbuh analis Panin Sekuritas, itu kinerja keuangan mereka ikut tertekan meski tidak seanjlok harga sahamnya.

Sejauh ini kinerja BKSL sendiri memang kurang menggembirakan. Hingga September 2018 realisasi marketing sales-nya baru Rp 813 miliar. Padahal, target yang semula ingin dikejar oleh manajemen sebesar Rp 1,5 triliun.

Nah, target itu pun kemungkinan tidak akan tercapai. Mengingat penjualan lahan lewat skema block sales ke beberapa investor, sebagian baru bisa terealisasi pada 2019. Padahal, total nilai penjualan yang tadinya diharapkan bisa masuk ke kantong BKSL mencapai lebih dari Rp 500 miliar.

Untuk tahun ini manajemen BKSL optimistis kinerjanya tahun ini bisa membaik. Saat public expose beberapa waktu lalu, manajemen BKSL menyebut target pertumbuhan pendapatan dan laba bersih sebesar 15%-20%. Tingkat pertumbuhan marketing sales yang serupa juga dipatok oleh BKSL.

Daya tarik

Meski BKSL tidak sedang dalam kondisi terbaik, William justru menilai, PBV yang rendah menjadi daya tarik emiten tersebut. "Dengan valuasi murah dan mempertimbangkan potensi lahan yang besar, maka tentunya menjadikan BKSL salah satu saham yang layak dikoleksi," tukasnya.

Sentul City memang pengembang dengan cadangan lahan (landbank) besar. Catatan KONTAN, dari 3.100 hektare (ha) lahan Sentul City, baru sekitar 1.000 ha yang dikembangkan. Di Jonggol, BKSL sudah membebaskan sekitar 10.000 ha dari total izin pengembangan sekitar 30.000 ha.

Di sisi lain, harga jual lahannya secara rata-rata terus naik 15% per tahun. Mengacu pada publikasi resmi perseroan yang tercantum dalam public expose 10 Desember 2018, Per kuartal III-2018, harga jual lahan BKSL berkisar antara Rp 7,7 juta hingga Rp 13,5 juta.

Namun, penguasaan lahan yang besar belum bisa memacu pertumbuhan bisnis BKSL secara optimal. Pasalnya, butuh dana yang juga tidak kecil untuk mengembangkan kawasan tersebut.

Dus, manajemen BKSL ikut menggandeng investor membenamkan modal di Sentul City. Misalnya, membikin perusahaan patungan dengan dua perusahaan Jepang, Sumitomo Corporation dan Hankyu Hanshin Properties Corporation untuk mengembangkan apartemen Opus Park di Sentul City.

Selain itu, Sentul City belum sematang kawasan yang dikembangkan emiten properti lain, seperti Serpong di Tangerang.

Infrastruktur penunjang, seperti transportasi melalui jalan tol belum memberikan kenyamanan lantaran kemacetan yang kerap terjadi. Betul, ada LRT yang akan menunjang aksesibilitas dari dan menuju ibukota Jakarta. Namun, proyek LRT rute Cibubur-Bogor yang digarap PT Adhi Karya Tbk (ADHI) baru kelar paling cepat pada 2020 mendatang.

Terbaru