kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PLN tak keberatan pakai biofuel atau CPO untuk pembangkit


Rabu, 29 Mei 2019 / 19:18 WIB
PLN tak keberatan pakai biofuel atau CPO untuk pembangkit


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengaku tak keberatan jika harus menggunakan Biodiesel 20% atau B20 maupun minyak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) untuk pembangkit tenaga listrik.

Djoko Rahardjo Abumanan yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama PLN mengatakan, pihaknya bahkan telah menggunakan bahan bakar nabati jenis B30 di sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) untuk mengurangi pemakaian solar.

Djoko mengaku pemakaian B20 atau B30 sudah bukan hal yang baru bagi PLN karena sudah mulai diuji cobakan dari masa pemerintahan sebelumnya.

Djoko bilang, saat ini PLTD milik PLN lebih banyak yang menggunakan campuran bahan bakar nabati tersebut dibandingkan yang masih menggunakan High Speed Diesel (HSD).

"Itu sudah sejak lama (PLTD memakai B20 atau B30), baru digalakan kembali tahun 2018. Yang masih memakai HSD bisa dihitung dengan jari," kata Djoko saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (29/5).

Menurut Djoko, PLN sejauh ini tak memiliki kendala dengan pemakaian B20 atau B30. Bahkan, ia pun mengatakan bahwa secara teknis, mesin-mesin pembangkit PLN sudah siap untuk menampung bahan bakar dengan campuran biofuel 60% atau B60.

Hanya saja, sambung Djoko, hal itu tergantung dengan keekonomian harga dan juga kontinuitas pasokan bahan bakar terkait yang diberikan kepada PLN. Adapun, pada tahun lalu realisasi biofuel untuk pembangkit tercatat sebesar 5,8 juta kiloliter (KL), sementara pada tahun ini ditargetkan sebanyak 3,9 juta KL.

"Mesin nggak ada masalah, asalkan karakteristik (bahan bakar) sama, kita tunggu saja, yang penting kan ada pasokannya dan harganya juga ekonomis," imbuh Djoko.

Soal harga dan pasokan ini pula lah yang sempat menghambat PLN untuk melakukan uji coba dan penerapan CPO pada pembangkit. Apalagi, imbuh Djoko, pihak penyedia atau penyalur CPO awalnya meminta kontrak jangka panjang terlebih dulu.

"Tapi ini kan masih uji coba, ada macem-macem, uji performance hingga uji lingkungan. Kita juga harus tunggu regulasi, nggak bisa langsung," kata Djoko.

Meski tak merinci detailnya, namun Djoko mengatakan bahwa masalah harga dan pasokan CPO tersebut sudah menemui titik temu pada minggu lalu. "Hasilnya saya belum update. Tapi Minggu lalu sudah dapat (pasokan) CPO-nya, tinggal uji coba, laporan nanti habis Lebaran," terangnya.

Dalam catatan Kontan.co.id, ada empat pembangkit yang akan melakukan uji coba dengan menggunakan CPO. Yakni PLTD Kanaan Bontang berkapasitas 10 MW, PLTD Batakan Balikpapan (40 MW), PLTD Supa Pare-pare (62 MW), dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTMG) Jayapura dengan kapasitas 10 MW.

Adapun, untuk memasok keempat pembangkit tersebut, PLN memerlukan sekitar 190.000 kiloliter CPO per tahun.

Djoko pun menegaskan, dalam memprioritaskan sumber energi untuk pembangkit, PLN memperhatikan dua faktor. Pertama, kata Djoko, dengan mengoptimalkan penggunaan energi yang berasal dari dalam negeri, seperti batubara dan gas. Kedua, sambungnya, PLN memperhatikan ketersediaan pasokan dan harga keekonomian.

Karenanya, pada tahun ini PLN menurunkan kuota Liquefied Natural Gas (LNG) dari target 17 kargo, menjadi enam kargo saja. Hal itu lantaran mempertimbangkan adanya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang akan beroperasi, seperti PLTU Jawa 7 dan PLTU Cilacap Ekspansi.

"Betul (mengutamakan energi domestik), biofuel, batubara, gas kan bisa tidak impor, kalau BBM dia impor. Kita juga melihat fiskal supaya kuat," terangnya.

Lebih lanjut, Djoko pun lantas memberikan perbandingan harga dari sejumlah sumber energi. Ia bilang, energi dari Air adalah yang termurah, dengan perbandingan bisa di bawah Rp 1 per Kilowatt hour (KWh). Sedangkan dari PLTU batubara membutuhkan Rp 1 per Kwh.

Sementara, pembangkit yang bersumber dari energi gas memerlukan Rp 3 per Kwh, lalu pembangkit dengan bahan bakar HSD yang paling mahal dengan Rp 5 per KWh-Rp 6 per KWh.

Sayangnya,hingga saat ini efisiensi secara keekonomian dari penggunaan biofuel belum optimal lantaran biaya yang harus dikeluarkan PLN masih tak jauh di kisaran harga HSD.

Djoko pun lantas berharap supaya pembangkit dari Energi Baru dan Terbarukan (EBT) bisa semakin ekonomis. "Kita lihatnya ke sana, jadi kalau ada peluang untuk konversi, kita akan lakukan. Kita berharap reneweble bisa turun seperti Air," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×