kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah bakal membatasi jumlah gerai waralaba


Rabu, 05 September 2012 / 16:58 WIB
Pemerintah bakal membatasi jumlah gerai waralaba
ILUSTRASI. Ginny & Georgia, salah satu serial Netflix yang dapat mengobati rasa rindu Anda dengan suasana sekolah


Reporter: J. Ani Kristanti, Sofyan Nur Hidayat, Andri Indradie | Editor: Imanuel Alexander

Lewat aturan yang lebih spesifik, pemerintah bakal membatasi kepemilikan gerai milik pemberi waralaba antara 100 unit hingga 150 unit. Sasaran aturan ini adalah waralaba asing yang bertahun-tahun masih menguasai gerai-gerainya.

Penantian panjang para pelaku usaha waralaba akan segera berakhir. Setelah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 53/M-DAG/PER/8/2012, bakal segera menyusul aturan teknis yang lebih spesifik mengatur waralaba toko modern, rumah minum, dan rumah makan. Aturan kedua ini pun, kelak juga akan berbentuk Permendag yang mungkin akan keluar dalam waktu satu hingga dua bulan mendatang.

Seolah menjawab berbagai permasalahan di seputar industri waralaba, lewat Permendag yang baru ini, pemerintah membuat banyak penegasan dan pembatasan untuk mengatur industri waralaba. Maklum, salah satu isu utama sehubungan dengan revisi Permendag No. 31 Tahun 2008 adalah tentang keberadaan waralaba asing pada salah satu kepemilikan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya monopoli.

Sebut saja, usaha-usaha waralaba beberapa restoran cepat saji, seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonald (McD), dan Pizza Hut. Meski beberapa di antaranya telah menawarkan jalinan kerjasama dengan pengusaha lokal, namun perusahaan induk yang menjadi pemberi waralaba lanjutan ketiga gerai ini dari prinsipalnya di Amerika Serikat, masih mendominasi keberadaan gerai-gerai mereka yang tersebar di seluruh Indonesia.

Gunaryo, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementrian Perdagangan mengatakan, regulasi yang kedua memang bertujuan mencegah atau mengantisipasi adanya dominasi usaha oleh satu atau dua pihak saja. “Bisa dimiliki sendiri, tapi kita tidak ingin mereka memiliki sendiri semuanya sampai ribuan. Semangat waralaba kan, diberikan kepada pihak lain,” terangnya.

Dalam aturan teknis nanti, Pemerintah bakal membatasi jumlah gerai milik pemberi waralaba sendiri atau company owned outlet maksimal 100 unit hingga 150 unit. Selanjutnya, bila pemberi waralaba ingin menambah gerai milik sendiri, mereka juga harus menawarkan gerai untuk waralaba sesuai dengan penambahan gerai yang ada. “Sehingga, dalam kurun waktu lima tahun, tetap diperoleh rasio 51:49,” jelas Gunaryo.

Setelah aturan berlaku, pemerintah masih akan memberi toleransi waktu untuk penyesuaian. “Supaya adil,” cetus Gunaryo. Meski begitu, toleransi tak akan lebih dari lima tahun, karena setiap Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) berlaku atau harus diperbarui setiap lima tahun. “Mungkin sekitar empat tahun untuk masa peralihan,” terangnya.

Hanya, Gunaryo bilang, sampai saat ini, peraturan teknis ini masih dalam pembahasan. “Tapi, kami sudah lama memberi kesempatan untuk para pelaku memberi masukan sebelum aturan ini terbit,”tambahnya.

Butuh investasi besar

Salah satu tujuan pembatasan jumlah gerai milik pemberi waralaba sendiri adalah untuk membuka peluang bagi investor lokal. Khususnya, kesempatan untuk memiliki gerai waralaba asing yang sudah lama berbisnis di Indonesia, tapi belum menawarkan sub-waralaba.

Waralaba KFC misalnya. Di Indonesia, hak waralabanya berada di bawah kendali PT Fastfood Indonesia Tbk. Sejak tahun 1978, perusahaan yang tergabung dalam grup Gelael ini menguasai seluruh gerai KFC di Indonesia. Saat ini, jumlah outlet ayam goreng sudah mencapai lebih dari 400 gerai, tersebar dari Aceh hingga Papua.

Meski berstatus waralaba, PT Fastfood Indonesia Tbk dalam situs resminya menyampaikan tidak membuka kerjasama dalam bentuk sub-waralaba untuk merek KFC, kecuali kerjasama lokasi. Kerjasama lokasi terbagi dalam dua skema, yakni sewa penuh dilakukan KFC dengan membayar uang sewa atau KFC memberikan sebagian dari omzet atau revenue sharing dengan pemilik lokasi.

Menanggapai ketentuan soal pembatasan gerai, Harold Frederic Ericfon Kaha, Legal and Industrial Relation Manager KFC Indonesia mengatakan, pihaknya keberatan. “Jalur hukum yang kami tempuh mungkin akan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA),” katanya.

Pasalnya, pada prinsipnya, pemegang master franchise tak diberi wewenang untuk menggandeng sub-waralaba. Selain itu, tak gampang mencari mitra yang sesuai.

“Dalam waktu tiga tahun, tak mudah mencari 300 mitra. Investasinya juga terlalu besar untuk UMKM,” tambah Harold.
Harold membisikkan, membuka satu outlet KFC bisa menghabiskan dana hingga Rp 15 miliar. “Modal UMKM itu kan maksimal Rp 10 miliar,” katanya. Tak lupa, untuk rumah makan/minum ada resep rahasia dan mutu yang harus dijaga.

Sekadar infomarsi, KFC bisa mendulang omzet sekitar Rp 3 triliun dengan 400 gerainya. Secara geografis, ekspansi yang dilakukan juga mendorong daerah yang belum berkembang seperti Gorontalo, Timika, Ternate, dan Luwuk Banggai. “Yang lain belum berani masuk, kami sudah lebih dulu. Tapi tidak semua gerai menguntungkan, ada subsidi silang, yang paling penting membangun brand,” jelas Harold. Selain itu, setiap pembukan gerai, KFC tak lupa menggandeng UKM di wilayah tersebut untuk memasok bahan baku ayam atau beras.

Sayang, pengendali waralaba asing lainnya, yakni PT Sarimelati Kencana yang memiliki jaringan restoran Pizza Hut dan PT Rekso Nasional Food yang memegang master franchise McDonald di Indonesia tak memberikan tanggapan.

Jika Pizza Hut telah membuka 202 gerai sampai saat ini, McDonald telah memiliki 112 gerai hingga akhir tahun lalu.
Tak hanya waralaba asing, dampak pembatasan jumlah gerai juga berimbas pada waralaba lokal yang memang jumlah gerainya sudah mencapai ribuan. Mereka adalah waralaba ritel Indomaret dan Alfamart.

Meski demikian, Solihin, Direktur Corporate Affairs PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk mengatakan mendukung aturan pemerintah untuk meningkatkan peran serta investor lokal. “Tapi, ini, kan, masih dalam pembahasan. Saya harap akan ada perbedaan untuk gerai ritel dan restoran karena masing-masing mempunyai skala yang berbeda,” jelasnya.

Namun, adanya pembatasan ini, lanjut Solihin, akan membuat mereka kewalahan mencari mitra baru, terutama dalam pengembangan gerainya di daerah-daerah baru. Sebab, banyak daerah yang belum mengenal Alfamart. “Banyak gerai Alfamart di luar Jawa yang masih jadi milik sendiri karena merupakan strategi perusahaan untuk memperkenalkan pada masyarakat,” katanya.

Solihin menambahkan, tanpa ada pembatasan pun, pengusaha waralaba lebih senang mewaralabakan bisnisnya dibanding membangun gerai sendiri. Dengan menggandeng mitra bisnis, pengusaha tidak perlu mengeluarkan investasi menyewa tempat serta peralatan. “Kami tinggal memasang merek dan sistem saja,” ujarnya.

Saat ini Sumber Alfaria Trijaya sudah memiliki 6.253 gerai Alfamart. Dari total gerai itu, 30% merupakan milik mitra. Itu berarti, jumlah gerai milik pemberi waralaba lebih dari 4.000 unit. “Lokasi sebagian besar gerai kami masih menyewa,” kata Solihin.

PT Indomarco Prismatama, pemilik jaringan waralaba Indomaret telah membuka 6.700 gerai. “Sekitar 30% merupakan milik sendiri,” tutur Wiwiek Jusuf, Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama.

Hambat investasi

Aturan waralaba yang dikeluarkan Kemendag memang memiliki semangat untuk memperkuat peran UMKM. Tapi di sisi lain beberapa ketentuan terutama pembatasan gerai waralaba yang bisa dimiliki sendiri dikhawatirkan bisa menghambat laju investasi asing yang masuk ke Indonesia.

Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Anang Sukandar mengaku setuju dengan semangat dari aturan waralaba yang baru. Namun pemerintah harus sangat berhati-hati agar tidak menciderai industri franchise. Nah mengenai pembatasan gerai, Anang menilai aturan semestinya tidak perlu ada. “Jangan sembrono, nanti investor takut masuk ke Indonesia. Apa kita tetap ingin tradisional, tidak mau ikuti perkembangan dunia bisnis?” kata Anang.

Anang menilai kebijakan pemerintah yang terkesan masih primordial dan kolot itu justru akan menghambat perekonomian. Padahal industri waralaba mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat. Industri ini selama ini juga mampu menopang eksistensi UMKM di daerah sekitar gerai waralaba berdiri.

Kekhawatiran yang sama juga dinyatakan oleh Utomo Njoto, Konsultan senior waralaba dari FT Consulting Indonesia. Menurut dia, sebenarnya pelaku usaha sudah menyampaikan keberatan terkait pembatasan gerai waralaba ke Kementerian Perdagangan. Namun ada kesan pemerintah tidak mau memperhatikan masukan tersebut. “Padahal, jika aturan ini diterapkan malah akan mengganggu iklim investasi dan bisa-bisa justrumengurangi lapangan kerja,” katanya.

Sekadar catatan, Indonesia memang menjadi sasaran waralaba asing karena potensi pasarnya yang menggiurkan.
Dari selama semester pertama tahun ini saja ada pendaftaran 22 STPW dari luar negeri.

Mereka yang baru masuk di antaranya adalah Real Estate RE/MAX dari Amerika Serikat, Convenience Store Ministop dari Jepang, dan Kedai Teh Gong Cha dari Taiwan.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 48 XVI 2012, Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×