kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%
FOKUS /

Negosiasi dagang AS-China masih terganjal tiga hal jelang tenggat waktu 11 hari


Senin, 18 Februari 2019 / 05:10 WIB
Negosiasi dagang AS-China masih terganjal tiga hal jelang tenggat waktu 11 hari


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tenggat waktu penerapan kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) atas produk dari China dari 10% menjadi 25% senilai US$ 267 miliar tinggal 11 hari. Kedua negara akan memulai putaran keempat negosiasi dagang di Washington pekan ini.

Perwakilan AS akan dipimpin oleh Robert Lighthizer, US Trade Representative. Sedangkan perwakilan China akan dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Liu He. "Kami merasa telah menghasilkan kemajuan pada beberapa masalah yang sangat, sangat penting dan sangat sulit," kata Lighthizer, Jumat (15/2) lalu.

Dalam konferensi pers, Presiden AS Donald mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China sangat rumit dan ada kemungkinan dia memundurkan tenggat waktu dari 1 Maret.

Pada putaran negosiasi di Washington, AS akan fokus agar China mengurangi tekanan transfer teknologi dan menegakkan hak kekayaan intelektual bagi perusahaan-perusahaan yang ekspansi ke negara dengan penduduk terbesar dunia itu.

BBC melaporkan, ada tiga agenda utama yang sejak awal negosiasi belum tercapai kesepakatan. Ketiga agenda ini adalah:

1. Hak kekayaan intelektual

AS menuduh China mencuri hak kekayaan intelektual dari perusahaan-perusahaan Amerika dan memaksa perusahaan-perusahaan ini untuk transfer teknologi ke China. Perusahaan AS mengatakan bahwa pengadilan China bias dan hampir selalu memenangkan perusahaan lokal dalam perselisihan hak ini.

Pemerintah China menyangkal tuduhan ini. "Tidak ada hukum di China yang mengatakan bahwa Anda harus menyerahkan hak kekayaan intelektual kepada perusahaan China," kata Wang Huiyao, president of the Centre for China and Globalisation, think tank yang memberikan pertimbangan ke pemerintah China.

Untuk mengatasi kekhawatiran AS, pemerintah China membentuk pengadilan kekayaan intelektual dan menyusun rancangan undang-undang yang akan menyulitkan perusahaan atau pejabat China untuk meminta perusahaan asing mentransfer teknologi. Tapi, pemerintah AS mengatakan bahwa pengadilan berada di bawah Partai Komunis dan keputusan hukum sesuai dengan keinginan partai, terutama jika melibatkan perusahaan milik negara.

2. Akses pasar

Kesuksesan ekonomi China dibangun berdasarkan rencana yang terpusat dan didesain untuk perusahaan milik negara. Hal ini berkebalikan dengan perusahaan-perusahaan di AS.

AS mengatakan bahwa China mensubsidi perusahaan pelat merah, mengucurkan pinjaman dengan bunga murah dan membantu perusahaan-perusahaan ini bersaing dengan perusahaan asing di sejumlah industri seperti penerbangan, produksi cip, dan mobil listrik. Alhasil, perusahaan-perusahaan ini bersaing ketat dengan perusahaan AS.

AS menyebut bahwa perusahaan swasta China pun mendapat keuntungan. AS mengungkapkan bahwa perusahaan asing yang ingin bersaing di pasar China tidak memiliki koneksi atau ukuran di pasar tertutup. Alhasil, perusahaan asing perlu partner lokal.

China berjanji untuk membuka lebih banyak sektor bagi perusahaan asing. Tapi, AS menilai hal ini akan sia-sia jika perusahaan pelat merah tidak beroperasi secara independen, alias masih mendapatkan subsidi.

3. Made in China 2025

China memiliki rencana ekonomi jangka panjang. Persaingan untuk menjadi negara dengan ekonomi terbesar dunia menjadi sumber perselisihan AS-China. Berdasarkan data Bank Dunia, produk domestik bruto (PDB) AS mencapai US$ 19,39 triliun. China menyusul di peringkat kedua dengan PDB US$ 12,24 triliun, dengan nilai tukar saat ini.

Peta jalan industri China menjadi hambatan utama kedua negara. AS melihat rencana industri China sebagai tantangan langsung bagi supremasi AS di sektor-sektor utama seperti dirgantara, semikonduktor dan 5G.

Belakangan, China menciutkan program ini tanpa mengindikasikan penghentian. "Yang diinginkan AS adalah mengubah struktur ekonomi China secara fundamental. AS ingin China menjadi negara normal yang digerakkan oleh pasar. Sementara China tidak menginginkan hal ini," kata Christopher Balding, mantan profesor di Universitas Peking.

Kedua negara terdampak perang dagang ini. Tak cuma AS dan China, pertumbuhan ekonomi dunia pun terkena tampias perang dagang.

Bulan lalu, Dana Moneter International alias International Monetary Fund (IMF) menurunkan lagi prediksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,5% tahun ini dari prediksi sebelumnya 3,7%.

IMF pun menggunting prediksi pertumbuhan ekonomi global tahun depan dari 3,7% menjadi 3,6%. "Resesi global belum tampak, tapi risiko penurunan pertumbuhan global terus meningkat," kata Christine Lagarde, Managing Director IMF bulan lalu.

Rencana merger bubar

Tak cuma pertumbuhan ekonomi global, aksi ekspansi perusahaan dunia pun tertahan. Sepanjang tahun lalu, aktivitas merger dan akuisisi global mencapai rekor tertinggi. Tapi, tingkat kegagalan merger dan akuisisi pun mencapai level tertinggi sejak krisis finansial global. Ini adalah laporan dari Freshfields Bruckhaus Deringer, firma hukum yang kerap menangani merger dan akuisisi.

"Lembaga persaingan usaha di seluruh dunia menghadapi tekanan politik untuk mencermati dampak pemain besar yang inovatif terhadap persaingan dan pilihan konsumen di era digital," ungkap Freshfields seperti dikutip South China Morning Post.

Kekhawatiran pasar yang terkonsentrasi mendorong otoritas untuk intervensi regulasi yang bisa berdampak pada sejumlah bisnis besar. Freshfields menyebut, sekitar 60% dari anggota G20 telah mempertimbangkan tinjauan aturan investasi asing dengan alasan keamanan nasional dan kepentingan publik. Perang dagang AS-China juga menambah kompleksitas transaksi antarnegara, terutama transaksi yang melibatkan teknologi.

Sejak terpilih menjadi presiden, Trump memblokir dua transaksi dengan alasan keamanan nasional, yakni investasi perusahaan China Canyon Bridge Capital Partners yang berniat membeli Lattice Semiconductors dengan nilai US$ 1,3 miliar dan rencana akuisisi perusahaan Singapura Broadcom terhadap Qualcomm dengan nilai US$ 117 miliar.

Sejumlah akuisisi yang didukung China juga gagal setelah regulator AS mengindikasikan penolakan transaksi dengan alasan keamanan nasional.

Senada, Dealogic melaporkan bahwa volume transaksi di bulan Januari turun 37,5% ketimbang Januari tahun lalu. Transaksi di AS fokus pada transaksi merger dan akuisisi dalam negeri.

"Lima besar transaksi AS pada Januari 2019 merupakan transaksi domestik, dengan penurunan akuisisi ke luar negeri hanya US$ 19,4 miliar dan ke dalam negeri US$ 7,8 miliar," ungkap Dealogic dalam laporan.

Firma hukum White & Case and Mergermarket menyebut, 47% eksekutif perusahaan teknologi mengatakan bahwa perang dagang dan proteksionisme yang meningkat akan berdampak pada strategi akuisisi dalam 12 bulan ke depan. Sekitar 70% eksekutif yang disurvei mengatakan bahwa kesepakatan mereka gagal karena campur tangan politik.

"AS berlebihan dengan masalah keamanan nasionalnya. Saya gagal memahami mengapa mereka menafsirkan setiap kesepakatan sebagai ancaman bagi keamanan mereka. Bahkan, dengan pihak yang tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional, AS terus menunda persetujuan," kata seorang eksekutif telekomunikasi berbasis India.

Apa saja yang telah terjadi dalam perang dagang AS-China?

Perang dagang memanas sejak Presiden AS Donald Trump menerapkan tarif impor atas aluminium dan baja pada awal Maret 2018. AS meluncurkan investigasi kebijakan perdagangan China sejak 2017 lalu.

Hingga saat ini, AS telah menerapkan tiga putaran kenaikan tarif impor atas barang-barang China dengan total nilai lebih dari US$ 250 miliar. Tarif impor beragam mulai dari 10% hingga 25% untuk produks industri dan konsumen.

China membalas kenaikan tarif ini dengan pengenaan tarif impor atas US$ 110 miliar produk asal AS. Tarif ini dikenakan untuk produk-produk industri, pertanian, dan produk konsumen.

Sejumlah pihak meramalkan, AS dan China masih sulit mencapai kesepakatan hingga 1 Maret. Kalaupun ada kesepakatan, persaingan ekonomi kedua negara ini tidak akan mereda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×