kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengangkat daya beli yang kian lunglai


Senin, 02 April 2018 / 15:52 WIB
Mengangkat daya beli yang kian lunglai


| Editor: Tri Adi

Banyak yang sepakat, tahun 2018 yang sekarang menginjak bulan keempat adalah tahun politik. Tapi, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian lebih sreg menyebut tahun 2018 sebagai tahun pesta demokrasi. Bukan cuma lantaran ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang berlangsung di 171 daerah, tahun 2018 juga jadi tahun pemanasan pemilihan presiden (pilpres) 2019.

Tahun politik juga membawa berkah buat masyarakat termasuk pelaku usaha. Contoh, pemerintah berencana memangkas tarif tol untuk angkutan logistik. Calon kebijakan ini berangkat dari keluhan para sopir truk soal tarif tol yang sangat mahal. Keluh kesah itu sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung.

Tidak sampai dua pekan setelah pemerintah mengungkapkan rencana tersebut, tarif tol untuk angkutan logistik yang lebih murah dari tarif yang ada sekarang segera berlaku. Penurunan tarif jalan bebas hambatan tersebut tentu menekan biaya angkut barang. Alhasil, setidaknya harga barang tetap, syukur-syukur malah bisa turun.

Apalagi, harga solar bersubsidi yang jadi bahan bakar truk logistik enggak naik. Untuk itu, pemerintah bela-belain menambah subsidi dan PT Pertamina sampai menombok triliunan rupiah, biar harga solar subsidi tetap Rp 5.150 per liter. Maklum, harga keekonomian solar saat ini seharusnya Rp 8.350 per liter, menyusul harga minyak mentah yang sudah menembus level US$ 60 per barel.

Ujung dari semua kebijakan ini sebetulnya: menjaga bahkan mendongkrak daya beli masyarakat. Apalagi, pemerintah juga mempertahankan harga Premium. Sekalipun, bahan bakar minyak (BBM) RON 88 sudah tidak disubsidi lagi, pemerintah masih mengatur harga jualnya. Cuma, Pertamina yang mesti sendirian menutup selisihnya.

Pemerintah memang harus mengerek daya beli masyarakat yang masih saja kurang darah. Soalnya, konsumsi rumahtangga masih jadi lokomotif utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Memang, sih, harga Premium tidak naik. Tapi, barangnya “langka” terutama di Pulau Jawa dan Bali. Pertamina terus mengurangi pasokan Premium ke stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Bahkan, tidak sedikit pom bensin yang enggak lagi menjual Premium.

Mau tidak mau, masyarakat beralih ke Pertalite. Celakanya, harganya sejak awal tahun sudah naik dua kali, total Rp 300 per liter. Di Jakarta, sekarang harga RON 90 ini Rp 7.800 per liter. Bedanya dengan Premium semakin jauh, jadi Rp 1.250.

Ini sejatinya, sama saja harga BBM naik Rp 1.250. Bukan angka yang kecil. Mau balik lagi ke Premium tapi barangnya, kok, susah didapat.

Enggak heran, konsumsi Pertalite untuk pertama kalinya menyalip penggunaan Premium. Per Oktober 2017, konsumsi Pertalite sudah mencapai 9,91 juta kiloliter (kl), sementara Premium 7,34 juta kl. Jumlahnya naik drastis dibanding 2016 sebesar 5,85 juta kl, apalagi 2015 yang sebesar 337.000 kl.

Konsumsi Pertalite yang terus bertambah plus harganya yang naik berpotensi mendorong laju inflasi. Memang, dorongannya tidak sebesar jika harga Premium dan solar naik. Tapi tetap saja, Pertalite memiliki andil ke inflasi.

Buat pengguna Premium yang “terpaksa” beralih ke Pertalite, kenaikan harga BBM jenis ini jelas menggerus daya beli mereka. Penghasilan yang seharusnya bisa membeli barang lain sebagian tersedot untuk biaya transportasi.

Kalau sudah begini, tampaknya berat buat pemerintah mengejar target pertumbuhan tahun ini sebesar 5,4%. Pemerintah harus lebih habis-habisan lagi mendongkrak daya beli. Harga eceran tertinggi (HET) sejumlah bahan pangan yang berlaku 1 April semoga bisa menopang daya beli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×