kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menanti penjaminan obligasi korporasi


Selasa, 18 Desember 2018 / 15:04 WIB
Menanti penjaminan obligasi korporasi


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Krisis moneter yang melanda perekonomian negara di Asia Timur menyadarkan pemerintah negara-negara itu, pasar surat utang korporasi domestik (local currency bond market) memiliki peran penting dalam stabilitas sistem keuangan suatu negara bahkan dunia. Perhatian terhadap eksistensi pasar surat utang domestik sangat kuat dan meluas. Karena pengaruhnya terhadap stabilitas keuangan dunia dan menjadi perhatian pemimpin negara G-20. Dan mendorong perkembangan pasar surat utang korporasi lokal di negara-negara berkembang.

Setelah bencana krisis keuangan global tahun 2008, negara G-20 mendeklarasikan pentingnya pembangunan local currency bond market yang dinyatakan memiliki peran. Pertama, memperluas pilihan pendanaan yang tersedia di negara berkembang dalam memenuhi kebutuhan dana, khususnya pembangunan infrastruktur.

Kedua, mengurangi ketergantungan yang terlalu besar kepada pusat keuangan global. Ketiga, membantu mengurangi ketidakseimbangan global dengan menyediakan instrumen investasi bagi investor domestik di negara berkembang. Keempat, meningkatkan stabilitas dan ketahanan sistem keuangan domestik setiap negara.

Pada bulan November 2011, negara G-20 meluncurkan sebuah diagnostic framework yang dapat digunakan negara berkembang membangun pasar obligasi korporasi di negara masing-masing (World Bank & IMF, 2013).

Pasar surat utang korporasi domestik yang berkembang baik diharapkan dapat mencegah terulangnya permasalahan currency mismatch dan maturity mismatch yang menyebabkan banyak perusahaan dan bank bangkrut. Stabilitas sistem keuangan dapat menjadi lebih terjaga (resilience) dari goncangan ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar rupiah lebih terkendali. Surat utang korporasi diharapkan dapat diakses bukan saja oleh perusahaan konglomerat besar, tapi juga perusahaan kecil dan menengah.

Negara berkembang di Asia saat ini memiliki kebutuhan pendanaan yang sangat besar, khususnya pendanaan proyek infrastruktur yang besar. Proyek tersebut memiliki efek multiplier yang besar kepada berbagai industri pendukung. Oleh karena itu, tersedianya sumber pendanaan yang sesuai sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan di negara berkembang Asia.

Sejalan dengan inisiatif G-20, negara ASEAN yang sebagian besar memiliki pengalaman buruk saat krisis keuangan Asia 1998, sejak jauh hari telah membangun kerja sama untuk membangun pasar surat utang domestik dengan meluncurkan Asean Bond Market Initiatives (ABMI) pada 2002. Perekonomian yang terlalu bertumpu kepada perbankan disadari negara Asia sebagai sebuah kerentanan (financial system fragility) yang mengancam stabilitas sistem keuangan suatu negara bahkan perekonomian negara secara keseluruhan.

Bartram, Brown, dan Hund (2007) membuktikan, dengan data observasi individual bank dari 28 negara, setiap bank memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas keuangan global. Meski dengan tingkat keseriusan yang beragam antar bank. Temuan dari Bartram, Brown, dan Hund (2007) menunjukkan bahwa dampak sistemik dari sebuah bank tidak dapat dianggap remeh.

Didorong oleh kesadaran pentingnya keseimbangan antar sub sektor dalam sistem keuangan negara dan mengambil pelajaran dari pengalaman pahit ketika krisis keuangan Asia 1998, negara Asean bersepakat saling bekerja sama dalam membangun pasar surat utang domestik di negara masing-masing. Salah satu sebab parahnya dampak krisis keuangan di Asia salah satu faktor adalah pasar surat utang korporasi masih sangat dangkal dan belum berkembang di negara tersebut.

Kerja sama antar negara yang tergabung dalam Asean dan negara Asia lainnya telah menghasilkan beberapa inisiatif dalam rangka memperkuat koordinasi kerjasama membangun surat utang korporasi di negara masing-masing. Tahun 2008, Asean +3, negara Asean dan tiga negara lain yaitu Jepang, Amerika Serikat dan Korea Selatan meluncurkan ABMI Roadmap. Dan membentuk kelompok kerja untuk mengatasi masalah spesifik yang muncul dalam upaya membangun pasar surat utang domestik di negara masing-masing.

CGIF tidak cocok

Tahun 2010 ditandai dengan terbentuknya Asean+3 Bond Market Forum. Perkumpulan itu bertujuan meningkatkan harmonisasi market practices dan regulasi yang ada di pasar surat utang domestik di negara Asean. Sehingga dapat menfasilitasi cross-border bond issuance antar negara Asean. Baik government bond maupun corporate bonds.

Pertengahan tahun 2013 ditandai dengan implementasi ABMI secara lebih kongkrit yaitu dengan berdirinya Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) sebagai sebuah trust fund di dalam Asia Development Bank (ADB) yang menyediakan credit enhancement dan jaminan atas surat utang korporasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan dari negara-negara Asean. Dengan fasilitas jaminan dan CGIF itu, perusahaan yang berasal dari negara Asean dapat memperoleh akses pendanaan dari investor global.

CGIF ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah bond yang diemisi di pasar surat utang Asean dan memungkinkan cross-border corporate bond issues antar negara Asean. Fokus CGIF ini adalah pada peningkatan jumlah emisi surat utang dari negara Asean cross-border corporate bond issues dan bukan pada pembangunan local currency bond market.

Perusahaan Indonesia, yang tercatat paling banyak menggunakan fasilitas CGIF dari negara Asean, memperoleh fasilitas jaminan dan credit enhancement untuk surat utang dengan denominasi dalam valuta asing, bukan rupiah. Padahal yang menjadi perhatian utama adalah pasar surat utang dengan denominasi mata uang lokal.

Sehingga goncangan yang terjadi pada sistem keuangan dunia dan fluktuasi nilai tukar tidak terlampau mengancam kemampuan perusahaan untuk membayar hutangnya. Serta tidak menyebabkan kebutuhan valuta asing jadi sangat tinggi dan bersiklus pada sekitar tanggal pembayaran surat utang valas dari korporasi yang ada. Eksistensi CGIF dapat dikatakan tidak sepenuhnya sesuai dengan kepentingan Indonesia untuk membangun local currency bond market.

Indonesia perlu memikirkan secara serius pendirian lembaga penjamin obligasi (bond guarantee fund) sendiri. Malaysia sudah punya lembaga sejenis sejak 2009 yang bernama Danajamin. Peran Danajamin ini sangat sentral mendorong korporasi Malaysia untuk memilih emisi obligasi. Bahkan peran mereka sangat besar mendorong berkembangnya pasar sukuk atau obligasi Syariah.

India tahun 2017 resmi mengoperasikan lembaga penjamin obligasi korporasi dengan bantuan teknis dari ADB dan pemerintah Jepang. Tidak hadirnya lembaga penjamin obligasi dapat diduga menjadi salah satu faktor penyebab seretnya perkembangan pasar obligasi korporasi di Indonesia.•

Buddi Wibowo
Dosen Pascasarjana Ilmu Manajemen
FEB Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×