kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini sebab harga ayam jatuh, rantai distribusi rumit & tidak ada harga acuan DOC


Senin, 01 Juli 2019 / 19:10 WIB
Ini sebab harga ayam jatuh, rantai distribusi rumit & tidak ada harga acuan DOC


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kerugian terus dirasakan peternak ayam asal Jawa Tengah (Jateng) sejak awal tahun 2019 ini harga jual ayam ras turun drastis dari harga pokok penjualan (HPP). Beberapa peternak ayam di provinsi ini pun telah mengklaim pailit, bahkan sampai ada yang menjual rumah dan mobil untuk menutupi kerugian di tahun ini.

Kondisi ini sebenarnya sudah diprediksi Perhimpunan Insan Perunggas Rakyat Indonesia sejak Januari tahun ini. "Kami sudah peringatkan kalau semester satu ini kemungkinan over supply, sayangnya tidak percaya," ungkap Parjuni, Ketua Pinsar Jawa Tengah, Senin (1/7).

Sejak januari tahun ini setidaknya ada 15%-20% produksi ayam ras yang menumpuk, hal ini kata Parjuni terus berlanjut hingga bulan-bulan berikutnya sampai over supply berada pada angka 30%-40%. Peningkatan ini tak terlepas dari konsumsi yang tidak banyak berubah, namun persediaan ayam terus bertambah.

Untuk harga jual sendiri sempat jatuh hingga Rp 6000 per kilogram nya, dimana HPP per kilogram menyentuh level Rp 18.500. "Di bulan Juni tahun ini saja persentase kerugiannya bisa diatas 50% dibandingkan Juni tahun lalu," beber Parjuni.

Tak heran, sejak Maret kemarin beberapa usaha peternakan mandiri ada yang memilih istirahat atau benar-benar tutup. Pada puncaknya tanggal 5 Maret kemarin, peternak lokal Jateng melakukan demonstrasi hingga akhirnya membagikan ayam secara cuma-cuma ke tengah masyarakat.

Hal itu menjadi bentuk protes, sekaligus membuka mata khalayak umum betapa murahnya harga ayam tersebut, dimana harga di tangan konsumen tak banyak berubah justru malah sampai naik hingga Rp 30.000 per kilogram nya. Parjuni mengakui bahwa rantai distribusi ayam cukup kompleks dan indirect ke tangan konsumen.

Peternak yang memiliki populasi ayam besar mengandalkan pedagang alias broker yang membeli langsung ke mereka. Rantai broker ke pengecer pun melalui beberapa tangan, kata Parjuni, dengan harga beli Rp 9.000 per kilogram dan harusnya sudah untung jika menjual ke pengecer Rp 17.000 per kilogram nya, namun banyak pedagang yang tampaknya ingin ambil profit tinggi.

"Cuma konsumen terbiasa dengan harga ayam di level Rp 30 ribu, tak ada komplain, konsumen tidak protes dan menganggap hal itu biasa. Ini jadi masalah, karena ketidaktahuan harga di peternak seperti apa," jelas Parjuni.

Selain itu harga Day Old Chicken (DOC) alias bibit ayam juga tidak punya acuan. Parjuni melihat tidak ada pengendalian yang tegas di bagian ini menyebabkan sewaktu-waktu harga gampang jatuh. Sebelumnya pihak Pinsar dan asosiasi peternakan sempat mengusulkan harga acuan untuk DOC sejak tahun lalu ke Kementerian Perdagangan (Kemendag), namun sampai saat ini belum ada realisasinya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×