kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,77   5,31   0.58%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri kimia diprediksi masih melambat sampai akhir tahun


Minggu, 05 Agustus 2018 / 17:56 WIB
Industri kimia diprediksi masih melambat sampai akhir tahun
ILUSTRASI. Kompleks petrokimia terpadu PT Chandra Asri Petrochemical Tbk


Reporter: Agung Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor industri bahan kimia tercatat dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 4,94% pada kuartal II 2018 dibanding kuartal I 2018. Sebenarnya secara keseluruhan, BPS mencatat, industri manufaktur melambat di kuartal II 2018. Adapun perlambatan ini terjadi baik di industri besar dan sedang (IBS) serta industri mikro dan kecil (IMK). Pertumbuhan IBS di kuartal II 2018 hanya  4,36%  secara tahunan (year-on-year) atau lebih rendah dibanding kuartal I 2018 sebesar 5,36%.

Pelemahan rupiah yang mendongkrak kenaikan harga bahan baku ditengarai membuat industri kimia menahan produksinya sehingga membuat kinerja industri kimia menurun. Hal tersebut diakui  Suhat Miyarso, Direktur Eksekutif Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI), khususnya untuk industri kimia hilir.

"Kalau (industri kimia) hilir, memang kena imbas dari dollar yang tinggi. Karena beli bahan baku berbasis dollar," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (5/8). Belum lagi, harga minyak dunia yang mahal mengakibatkan material produksi turut naik.

Sebagai pemakai akhir, menurut Suhat, industri hilir kimia mau tak mau harus segera melakukan penyesuaian harga. "Kalau tidak naikkan harga tentu harus kurangi kapasitas, disinilah terjadi perlambatan pada sektor ini," terangnya.

Sebaliknya, untuk industri hulu kimia kenaikan harga dolar belum terlalu berdampak bagi kinerjanya. Sebab, kata Suhat, sebagai produsen material hilir pabrikan tersebut masih dapat membebankan kenaikan kurs dan minyak pada industri dibawahnya dengan menaikkan harga.

Apakah para pemain industri kimia dapat melakukan hedging guna menanggulangi beban kurs? "Saya rasa kalau untuk jangka pendek ya paling bisa hedging, sementara kalau jangka panjang mau tak mau harus naikkan kapasitas supaya biaya berkurang," ucap Suhat.

Maka itu, produsen hulu kimia seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) tercatat sedang menggenjot pengembangan kapasitas produksinya. Menurut Suhat, yang juga menjabat sebagai Vice President Corporate Relations TPIA, peningkatan kapasitas dalam rangka meraih efisiensi.

Masuk semester II tahun ini, menurut Suhat, perlambatan di sektor kimia diprediksi masih berlanjut. Sementara untuk harga minyak, FIKI berharap harga tidak jauh dari level US$ 70 per barel.

Sedangkan kondisi industri kimia ditingkat global, semua wilayah masih mengalami perlambatan yang hampir sama dengan kenaikan harga minyak dunia saat ini. "Untuk produk turunan plastik saja, tahun lalu marginnya masih cukup besar sekarang menyempit," kata Suhat.

Penggunaan minyak bumi sangat besar bagi industri kimia, khususnya yang berada di hulu. Sebagai contoh, Suhat menerangkan, TPIA dalam memproduksi bahan baku olefin membutuhkan sekitar 2,5 juta ton nafta per tahun. Dengan hanya 10%-15% dari olahan minyak bumi yang menjadi nafta tersebut, setidaknya TPIA membutuhkan kisaran 25 juta ton barel minyak bumi hanya untuk memproduksi nafta.

Senada dengan Suhat, Direktur Utama PT Barito Pacific Tbk (BRPT) Agus Salim Pangestu juga menjelaskan faktor global yang ikut menekan industri kimia tanah air. "Kenaikan bunga di Amerika Serikat berdampak kepada semua negara. Kurs negara emerging market pasti tertekan, termasuk rupiah," terangnya kepada Kontan.co.id, Minggu (5/8).

Mau tak mau, bahan baku yang didapat dengan harga dollar AS semakin mahal. Sedangkan untuk kenaikan harga minyak, menurut Agus, tidak terlalu berpengaruh pada kinerja perseroan. "Sebenarnya pengaruh relatif kecil. Justru pengaruh paling besar adalah supply and demand," ujarnya. Agus mengatakan bahwa belum ada pertumbuhan suplai yang besar dalam lima tahun ke depan.

Konsumsi produk turunan kimia seperti plastik, di Indonesia belum terlalu tinggi. "Rata-rata masih 10 kilogram per kapita, sementara rata-rata Asean kisaran 20 kliogram per kapita," kata Agus.

Di samping itu, material produksinya mayoritas 50%-60% masih impor. Untuk itu, kata Agus, strategi Industri kimia untuk indonesia masih di tahapan “import substitute”. "Pasar indonesia itu besar. Jadi industri ini pabriknya kalau semakin besar, semakin efisien dan kompetitif, jadi harus ekspansi sehingga bisa penuhi pasar lokal seluruhnya," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×