kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45939,99   -23,74   -2.46%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom ini menilai Indonesia relatif aman hadapi resesi AS


Selasa, 26 Maret 2019 / 18:36 WIB
Ekonom ini menilai Indonesia relatif aman hadapi resesi AS


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia relatif aman menghadapi sinyal resesi Amerika Serikat (AS). Kendati demikian, pemerintah tetap perlu waspada mengingat Indonesia masih menghadapi defisit transaksi berjalan alias current account deficit (CAD) yang melebar di level 2,98% dari PDB.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengatakan pemerintah perlu memberi stimulus moneter atau fiskal supaya bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi terutama di sektor riil untuk bertahan dari gejolak global. Antara lain dengan tidak meningkatkan suku bunga.

"Tetap membangun infrastruktur, yang penting orang bekerja dan dibayar," jelas Fithra kepada Kontan.co.id, Selasa (26/3).

Fithra menjelaskan efek dari resesi AS akan terasa pada tekanan terhadap rupiah. Namun, itu saja hanya sekitar dua hingga tiga bulan. Sebab akan terjadi capital outflow sebagai imbas investor yang menghindari risiko menanamkan modalnya di negara berkembang.

Dalam kondisi krisis, investor lebih khawatir dengan dampaknya pada emerging market ketimbang AS yang termasuk negara safe haven alias mempunyai tingkat risiko rendah ketika perekonomian global tidak menentu.

"Meski dalam krisis, dollar tetap diminati," jelas Fithra.

Negara yang termasuk dalam safe haven antara lain Jepang, Eropa dan Amerika Serikat.

Justru, tekanan yang paling berat pada saat ini berasal dari CAD yang bisa memberi dampak hingga tujuh bulan. Indonesia perlu waspada pada perlambatan ekonomi global yang mempengaruhi perlambatan permintaan. Ini berujung pada ekspor yang lemah dan menyebabkan CAD. 

Apalagi, China saat ini juga menunjukkan data pelemahan. "China merupakan hub terpenting di Asia," jelas Fithra.

Secara historikal, data Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menunjukkan sinyal resesi. Terlihat dari imbal hasil treasury bond bertenor tiga bulan tercatat 2,46% (naik dari 1,73% tahun lalu), sedangkan tenor 10 tahun sebesar 2,43% (turun dari 3,20% dari tahun lalu). Kondisi yang sama seperti pada tahun 2006-2007.

Imbal hasil menggambarkan ekspektasi para investor. Pada kondisi normal, investor lebih senang dengan likuiditas ketimbang faktor keamanan. Sehingga obligasi bertenor pendek lebih diminati dan menyebabkan harga naik, sehingga imbal hasil turun. Sedangkan obligasi tenor panjang tidak diminati, sehingga harga rendah, dan menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.

Maka, data Departemen Keuangan AS menunjukkan investor berekspektasi akan ada gejolak apabila mereka membeli treasury bond jangka pendek. Sehingga investor membeli treasury bond tenor panjang, yang kemudian menyebabkan harga tenor panjang meningkat dan imbal hasil menjadi turun.

"Pada kondisi normal, suku bunga obligasi jangka panjang jauh lebih tinggi karena relatif tidak terlalu diminati," ujar dia.

Indikator lainnya, utang jangka panjang AS yang usia 5 tahun dan 30 tahun jatuh temponya hampir bersamaan di 2019 dan 2020. Fithra menjelaskan ini sebagai konvergen antara utang jangka pendek dan panjang, serta memperkuat indikasi ke arah resesi.

"Ini yang membuat The Fed lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga," jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×