kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AS berlakukan hambatan tarif baru senilai 200 miliar dolar bagi Cina


Rabu, 19 September 2018 / 06:18 WIB
AS berlakukan hambatan tarif baru senilai 200 miliar dolar bagi Cina
ILUSTRASI. Negara Konsumen Terigu Terbesar di Dunia - China


Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - DW. Amerika Serikat kembali mengumumkan tarif impor baru senilai $ 200 miliar atas barang-barang dari Cina. Pasar global menunjukkan kekhawatirannya, perang dagang ini akan kian meruncing.

Administrasi pemerintahan Presiden Donald Trump mengatakan Senin (17/9) bahwa tarif baru akan dimulai dari 10 persen pada minggu depan dan meningkat menjadi 25 persen mulai 1 Januari 2019.

Washington sebelumnya berlakukan 25 persen bea terhadap barang-barang impor dari Cina senilai $ 50 miliar, atas apa yang dituduhkannya sebagai praktik perdagangan yang tidak adil.

Dengan tarif impor terbaru ini, sekitar separuh dari volume impor Cina ke Amerika Serikat akan dibebani oleh bea-bea yang sifatnya sebagai hukuman.

Menanggapi aksi terbaru Trump ini, Beijing menyatakan akan membalas tindakan AS dengan juga mengenakan tarif pada berbagai produk asal negara itu senilai sekitar $ 60 miliar.

"Jika AS meluncurkan langkah tarif baru apa pun, Cina akan dan harus mengambil tindakan penanggulangan untuk secara tegas memastikan dan membela hak serta kepentingan sah kami," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Geng Shuang kepada wartawan.

Cina telah memberlakukan tarif balasan terhadap barang-barang AS senilai $ 50 miliar sebagai tanggapan atas langkah-langkah Washington sebelumnya.

Namun, karena volume ekspor Cina ke AS lebih besar daripada volume impornya, ada batasan pada jumlah tarif yang dapat dikenakan Beijing atas barang-barang produk Amerika. Ini menimbulkan kekhawatiran pasar, bahwa Cina akan membalas dengan memberlakukan hambatan pada hal-hal yang bersifat nontarif.

Industri AS juga menentang

Dalam sebuah pernyataan, Presiden Trump menegaskan, "kalau Cina membalas, maka Amerika Serikat akan segera memberlakukan tarif tahap ketiga, yang seluruhnya bernilai sekitar $ 267 miliar dari impor tambahan."

Sebelumnya, Senin (17/9), Trump memuji sendiri kebijakan perdagangan agresifnya yang juga telah merusak hubungan dengan Kanada, Meksiko, sekutu di Asia dan Uni Eropa.

"Tarif telah menempatkan AS dalam posisi tawar yang sangat kuat, dengan miliaran dolar, dan pekerjaan, mengalir ke negara kami. Kenaikan biaya sejauh ini hampir tidak terlalu mencolok," kata Trump di Twitter.

Industri di AS sendiri pada umumnya menentang kebijakan tarif dengan alasan bahwa tarif dapat meningkatkan harga akhir untuk konsumen dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Pejabat dari AS dan Cina telah bertemu beberapa kali untuk membahas dan mengatasi masalah perdagangan,Pertemuan terakhir digelar bulan Agustus, tetapi tidak banyak kemajuan yang terjadi

Bukan yang pertama

Sepanjang sejarahnya, AS telah beberapa kali melakukan kebijakan proteksionisme yang agresif, dengan alasan untuk melindungi industri dan lapangan pekerjaan di dalam negeri. Namun tidak jarang kebijakan ini malah merugikan industri dalam negeri dan mengorbankan konsumen.

Pada masa kepresidenan Barack Obama, pemerintah AS mulai tahun 2009 memberlakukan tarif impor untuk ban mobil dan ban truk kelas ringan dari Cina. Kebijakan ini berlaku selama tiga tahun sebelum akhirnya dicabut pada 2012.

Sebagai dampak kebijakan ini, impor ban dari Cina memang turun drastis. Namun ini bukan berarti Cina sama sekali berhenti memproduksi ban. Alih-alih bangkrut, para produsen ban di Cina malah memindahkan sejumlah tempat produksi mereka ke negara lain, termasuk juga ke AS.

Sebuah studi tentang kebijakan tarif impor ban mobil dari Obama yang dilakukan tahun 2011 mengungkap,  bahwa publik Amerika harus membayar biaya tambahan sebesar $ 1,1 miliar, hanya untuk pembelian ban dalam satu tahun itu.

Kebijakan tarif ini memang bisa menyelamatkan sekitar 1.200 lapangan pekerjaan di AS. Namun bila dibandingkan dengan biaya tambahan yang harus dibayarkan oleh publik, ini berarti satu lapangan pekerjaan yang rata-rata bayaran per tahunnya sekitar $ 40.000 memerlukan biaya penyelamatan sebesar $ 1 juta per tahun.

Sementara itu, tarif baja yang diberlakukan pada 2002 oleh Presiden George W. Bush juga berdampak serupa. Kebijakan ini tidak hanya berdampak buruk bagi konsumen. Tetapi juga dirasakan impaknya oleh perusahaan dalam negeri yang menggunakan baja sebagai bahan dasar atau campuran untuk membuat produk lain, seperti perusahaan konstruksi dan produsen mobil.

Dampaknya bagi Indonesia

Perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia saat ini dikhawatirkan akan juga berdampak pada perekonomian Indonesia.

Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menerangkan, dampak dari perang dagang ini di antaranya menimbulkan ketidakpastian ekonomi lantaran pelaku usaha cenderung menahan diri, sehingga bisa mengerem pertumbuhan ekonomi dunia yang tahun ini seharusnya membaik.

"Proteksi menyebabkan kemunduran ekonomi baik di AS maupun Cina. Di mana kedua negara tersebut merupakan pasar ekspor kita. Dengan sendirinya ekspor kita terganggu," kata Iwantono.

Gangguan ekspor itu kemudian bisa memperburuk neraca perdagangan Indonesia dan berdampak kepada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS.

Sebab itu, dia mengimbau, pemerintah perlu segera melakukan antisipasi. Caranya dengan menjaga stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik.

"Melakukan inovasi baru dalam ekspor, diversifikasi produk, dan mencari alternatif baru tujuan ekspor," terang Iwantono.




TERBARU

[X]
×