kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rencana pemangkasan PPh bunga obligasi perlu dihitung lebih cermat


Senin, 24 September 2018 / 20:59 WIB
Rencana pemangkasan PPh bunga obligasi perlu dihitung lebih cermat
ILUSTRASI. Aktifitas perdagangan SUN di Mandiri Securitas


Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana Kementerian Keuangan (Kemkeu) memangkas pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi pemerintah kembali menghangat. Kemkeu kembali mengkaji kebijakan ini di tengah kondisi imbal hasil (yield) surat utang negara (SUN) acuan bertenor 10 tahun yang masih tinggi di atas 8%.

Hanya saja, efektivitas rencana kebijakan ini bagi pasar obligasi domestik masih dipertanyakan. Memang, potongan PPh obligasi pemerintah lumayan menguntungkan bagi investor ritel maupun institusi seperti asuransi, namun seberapa signifkan efeknya itu yang menjadi pertanyaan.

I Made Adi Saputra, analis Fixed Income MNC Sekuritas menilai, kebijakan ini memang positif bagi investor individu, juga investor institusi seperti perusahaan asuransi dan yayasan. Namun, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu, segmen investor tersebut hanya menyerap surat berharga negara (SBN) dalam porsi mini, yakni sekitar Rp 389 triliun atau 17% dari total SBN.

"Kebijakan ini mungkin sebagai cara pemerintah mengoptimalisasi basis investor domestik, terutama investor individual yang saat ini porsi kepemilikannya cuma 2,8%," ujar Made, Senin (24/9).

Adapun, pemegang obligasi pemerintah terbesar saat ini adalah institusi perbankan dan investor asing. Per 21 September 2018, bank mendekap SBN sebesar Rp 611,93 triliun, sedangkan asing sebesar Rp 840,58 triliun.

"Nah, kalau bank ini kan pajaknya bukan pajak transaksi, melainkan pajak yang diakumulasi dan dikenakan di akhir tahun. Jadi, kebijakan ini enggak akan berpengaruh ke investasinya bank," kata Made, Senin (24/9).

Made juga mengingatkan, sejatinya mekanisme pembentuk yield bukan hanya dari pajak. Pemerintah sebaiknya juga mempertimbangkan risiko penerimaan pajak yang berkurang dengan adanya kebijakan ini, terutama di tengah tren kenaikan yield secara global dan pelemahan nilai tukar rupiah sekarang.

"Pemerintah harus cermat menghitung penurunan PPh bunga obligasi ini dan untuk sekarang sepertinya tidak perlu drastis menjadi 0%. Harus dihitung apakah risiko turunnya penerimaan pajak dapat dikompensasi oleh pengurangan cost of fund yang ada," imbuh Made.

Menurutnya, jangan sampai kebijakan ini berujung sia-sia alias tak mencapai sasaran apapun. Tidak cukup untuk memperdalam pasar investor domestik, tidak juga meredam yield dan cost of fund, tetapi menggerus penerimaan pajak negara.

"Selain itu, kalau kebijakan ini terealisasi, emiten juga pasti akan meminta kebijakan yang sama. Toh, kupon oboligasi korporasi pun bergantung pada yield SUN," kata Made. Ia menilai, seharusnya dampak ke pasar bisa lebih positif jika kebijakan ini juga berlaku bagi obligasi korporasi sebab ongkos penerbitan bagi emiten pun akan berkurang.

Adapun, kisaran PPh bunga obligasi pemerintah 5%-10%, dianggap Made, sudah cukup menarik bagi investor. "Apalagi kalau penawaran surat utang melalui penerbitan SBR (saving bond ritel) secara online makin optimal di tahun-tahun berikutnya sehingga makin banyak diserap investor individu dan dinikmati hasilnya secara maksimal karena kebijakan pengurangan ppH ini," ujar Made.

Dengan demikian, tujuan pemerintah memperbesar porsi kepemilikan investor domestik di SBN dan mengantisipasi dampak capital outflow bisa terwujud.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×