kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tantangan emiten properti masih berat


Rabu, 07 Januari 2015 / 10:51 WIB
Tantangan emiten properti masih berat
ILUSTRASI. Cara Mengatasi Kolesterol Tanpa Obat, Bisakah Nanas Penurun Kolesterol?


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Meski industri properti melambat di tahun 2014, harga saham sejumlah emiten properti masih memuaskan sepanjang tahun politik. Harga saham enam emiten properti yang masuk kelompok LQ45 rata-rata naik 55,75% sepanjang 2014.

Catatan paling memikat ditorehkan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA). Harga saham emiten ini naik 94,87% selama tahun 2014. Posisi berikutnya adalah saham PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) yang naik 90,74%, dan harga saham PT Ciputra Development Tbk (CTRA) naik 66,67%. Sementara harga saham PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) naik sebesar 39,92%, harga saham PT Alam Sutera Realty (ASRI) naik 30,23% dan harga saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) naik sebesar 12,09%.

Sejumlah analis pasar modal memprediksikan, emiten properti akan melewati sejumlah rintangan sepanjang tahun ini. Tantangan tersebut antara lain berasal dari potensi kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) serta pelemahan nilai tukar rupiah.

Kenaikan BI rate akan memberikan tekanan ke bisnis properti. Hal ini lantaran pengembang properti masih bergantung pada kredit perbankan untuk membiayai modal dan operasional. Sementara, rencana kenaikan suku bunga The Fed membawa sentimen negatif.

Hans Kwee, Direktur Sarana Investa Mandiri, menilai, program pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menggenjot pembangunan infrastruktur tidak serta merta turut memoles saham emiten properti. Sebab di sisi lain, bisnis properti dihadang tingginya bunga kredit perbankan. "Hal itu akan membuat bunga kredit properti juga semakin tinggi," ujar dia.

Selain itu, pelemahan rupiah semakin memperbesar biaya  emiten properti, mengingat masih banyak bahan properti bergantung pada impor. "Hampir 40% bahan material properti merupakan  impor," tutur Hans.

Tekanan atas nilai tukar rupiah diprediksi masih besar mengingat isu kenaikan bunga The Fed terus bergulir. Di sisi lain, daya beli masyarakat menyusut seiring perlambatan ekonomi. "Belum lagi aturan loan to value (LTV) yang mengharuskan uang muka kredit rumah atau down payment sebesar  30% serta aturan inden," jelas Hans.

Kepala Riset First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto menilai, prospek emiten properti masih bagus, kendati harus  menghadapi ancaman kenaikan suku bunga. Dia berpendapat, tekanan suku bunga masih bisa diatasi, lantaran kebutuhan masyarakat Indonesia akan properti, terutama untuk rumah pertama, masih besar. 

Meski demikian Hans mengingatkan, dalam dua tahun ke depan, emiten properti harus menahan nafas dulu. Pasalnya, tekanan ekonomi masih besar terutama akibat berbagai faktor eksternal.

Hans bilang, perekonomian akan tertekan akibat kenaikan suku bunga The Fed dan dampaknya baru benar-benar terasa selama periode satu sampai dua tahun.

Di tengah perlambatan ekonomi, menurut Hans, tipe sales market akan digantikan oleh buyer market. Artinya, ketika ekonomi bagus, pasar properti dikuasai para pengembang. Sebaliknya, jika ekonomi melambat, maka pembeli yang memiliki beberapa properti akan menjual. "Lantaran sepi pembeli, akan banyak pengembang memberi diskon dan mempermudah kredit.  Mereka akan menanggung beban besar," kata dia.

David merekomendasikan BSDE dengan target harga wajar di akhir 2015 senilai Rp 2.200 per saham. Dia juga memilih SMRA dengan target Rp 1.800. Adapun Hans menyarankan PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK) dengan target Rp 12.000, LPKR di Rp 1.500 dan saham PWON dengan target harga wajar Rp 600.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×