kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Selamat tinggal era bullish emas!


Selasa, 16 April 2013 / 15:18 WIB
Selamat tinggal era bullish emas!
ILUSTRASI. Logo UOB. REUTERS/Edgar Su


Reporter: Ruisa Khoiriyah, Christine Novita Nababan, Aceng Nursalim | Editor: Ruisa Khoiriyah

Emas sudah kenyang sanjungan sebagai instrumen investasi andalan dengan tingkat keuntungan menggiurkan. Tapi, terus melemahnya harga emas menuai tanya: masih menarikkah berinvestasi emas?

Tersebutlah suatu masa  ketika tsunami finansial meluluhlantakkan hampir semua tatanan perekonomian dunia, sekitar lima tahun silam.

Anda mungkin masih mengingat, huru-hara yang dipicu  kejatuhan raksasa keuangan Lehman Brothers di Amerika Serikat (AS), bak dentuman bom berkekuatan maha dahsyat. Serentak, jutaan orang jatuh miskin akibat terseret efek sistemik kejatuhan lembaga keuangan, harga saham ambles, nilai uang merosot tajam, kekacauan di mana-mana.

Raksasa ekonomi dunia seperti AS, Jepang, juga negara-negara Eropa, menderita imbas krisis terparah. Beruntunglah Indonesia, yang bersama China dan India, mampu bertahan untuk tumbuh di tengah masa "kegelapan" itu.

Di tengah kekalutan masa itu, emas muncul sebagai primadona "baru tapi lama".  Disebut baru karena sebelum krisis, logam mulia itu seakan tertutup pamor investasi pasar modal seperti saham, valas, obligasi, sertifikat deposito, juga properti, dan sebagainya.

Namun, tentu saja emas bukanlah instrumen investasi kemarin sore. Sejarah mencatat, emas adalah instrumen investasi tertua dalam peradaban manusia. Jauh sebelum ada kertas bernominal yang kini disebut sebagai uang atau surat berharga, emas sudah eksis sebagai barang bernilai tinggi.

Tidak usah jauh-jauh melakukan verifikasi, coba bertanya ke kakek nenek Anda. Berani bertaruh, mereka pasti pernah membeli emas. Alih-alih menyasar kontrak derivatif emas atau skema pembelian "aneh-aneh" seperti yang merebak belakangan, nenek moyang kita umumnya membeli emas dalam bentuk yang riil, berupa emas perhiasan atau emas lantakan.

Dalam situasi turbulensi perekonomian, pamor logam mulia ini semakin melejit. Hal itu tidak lepas dari atribut emas sebagai instrumen safe haven dan alat lindung nilai (hedging).

Kandungan emas yang makin menipis di perut bumi – saat tingginya permintaan – membuat potensi kenaikan harga emas terbilang besar, dari tahun ke tahun. Nilai intrinsik yang cenderung naik inilah yang jadi kredit terpenting emas dibandingkan dengan instrumen investasi lain. Predikat itu seolah-olah menjadi pelipur lara di tengah buruknya kondisi pasar finansial global, ketika instrumen portofolio seperti saham, obligasi, deposito, bahkan instrumen riil seperti properti, hancur berantakan.

Dana-dana pemodal kakap kelas dunia, yang semula banyak diparkir pada instrumen  portofolio, mengalir keluar mencari lahan baru yang dinilai lebih aman. Emas menjadi pilihan utama bersaing dengan dollar AS, sebagai safe haven.

Selamat tinggal era bullish!

Masa honeymoon para investor dengan emas pun dimulai. Nyaris setiap hari headline media massa memuat kabar tentang rekor baru harga emas. Puncaknya, harga emas  di pasar spot menembus US$ 1.906 per ons troi, pada Agustus 2011. Di tahun itu pula, emas  bahkan sempat diperdagangkan di kisaran US$ 1.923,7 per ons troi!

Jika Anda ingat, di awal tahun 2007, ketika krisis finansial global belum menyentuh kulminasi, harga emas baru berkisar US$ 600-an per ons troi. Atau sekitar Rp 180.000-an per gram jika memakai asumsi kurs dollar AS setara Rp 9.500.

Bandingkan dengan harga emas fisik di Divisi Logam Mulia  yang pernah nyaris menembus Rp 600.000 per gram. Itu artinya, tak sampai empat tahun, harga emas sudah terbang nyaris 250%, atau lebih dari 50% kenaikannya setiap tahun.

Gegap gempita harga emas tak ayal memicu efek domino. Bukan cuma transaksi emas berjangka saja yang semarak, emas lantakan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) pun laris manis. Emas perhiasan di toko emas turut diserbu pembeli. Menyusul, muncullah skema investasi gadai emas dan "kebun emas" di perbankan. Yang termutakhir, skema investasi emas yang belakangan banyak yang bodong.

Pendek kata, euforia harga emas melahirkan kreativitas orang dalam meramu produk investasi berstempel emas. Banyak yang menuai untung berlipat di tengah melambungnya harga emas. Tak sedikit pula yang merugi akibat terjebak silau harga emas.

Dan kini, kita menyaksikan harga emas seakan-akan kehilangan elannya. Setelah memecahkan rekor tertinggi dua tahun lalu, harga emas lunglai.
Sepanjang tahun 2011, emas melambung hingga 34%. Namun, selama 2012, logam mulia ini hanya naik 11%, dengan rata-rata harga di level US$ 1.679 per ons troi.

Memasuki kuartal kedua tahun 2013, harga emas hanya mondar-mandir di bawah harga penutupan tahun lalu. Wajar jika menuai tanya: Apakah era bullish harga emas tamat?

Jika kita melihat data historis, dalam satu dekade terakhir harga emas rata-rata naik 10%–15%  per tahun. Malah, tak sekali pula harga emas stagnan hingga cuma naik  single digit dalam setahun.

Kenaikan harga luar biasa yang terjadi beberapa tahun lalu sulit dilepaskan dari aksi spekulasi para pelaku pasar memanfaatkan sentimen perekonomian.

Predikat sebagai instrumen safe haven menjadi validasi aksi para spekulan menggoreng logam mulia ini di tengah kalutnya pasar. Permintaan emas menggila, tak diimbangi pasokan di pasar. Harga pun melambung tinggi. Sekilas, ini memang terdengar seperti dalil hukum pasar nan wajar.

Namun, jangan terkecoh, ya. Alih-alih mentransaksikan emas fisik, para spekulator itu sejatinya hanya memainkan kontrak harga emas di atas kertas belaka (paper gold price). "Harganya terlalu banyak spekulasi, sudah tidak masuk akal," komentar Leo Hadi Loe, seorang pengamat pasar emas.

Dus, harga emas yang melejit luar biasa itu sejatinya tidak riil. Kendati ujung-ujungnya menjadi rujukan harga emas fisik di pasar, namun harga kertas itu  sifatnya cenderung seperti gelembung (bubble) yang rentan pecah sewaktu-waktu.

Lantas, apakah fenomena penurunan harga emas saat ini adalah indikasi pecahnya gelembung harga emas? Boleh jadi demikian.

Satu demi satu pengelola dana kakap kelas dunia (hedge fund), ramai-ramai memangkas proyeksi harga emas mereka. Akhir Februari lalu, Goldman Sachs melansir prediksi bahwa harga emas tahun ini bakal terhenti di kisaran US$ 1.600 per ons troi. Angka itu lebih rendah dari prediksi mereka semula di harga US$ 1.810 per ons troi.

Analis Goldman seperti dikutip oleh Reuters, membeberkan, penurunan harga emas saat ini wajar dan sejalan dengan kenaikan bunga riil AS. "Itu mencerminkan kombinasi dari membaiknya data ekonomi AS, menurunnya ketidakpastian kebijakan AS, dan berkurangnya kekhawatiran krisis utang Eropa," jelas Goldman.

Dengan kata lain, masa bullish emas sejak tahun 2001 silam, berakhir. Goldman bahkan memprediksi, harga emas akan semakin terjun bebas ke kisaran US$ 1.200 per ons troi, dalam lima tahun mendatang!

Goldman tak sendiri. Hedge fund kelas kakap lain seperti BNP Paribas, Credit Suisse, Citigroup, juga menggunting proyeksi harga emas mereka. Dasar proyeksi mereka serupa: perekonomian dunia mulai pulih dan kini saatnya memutar dana pada aset lebih berisiko seperti saham atau surat utang.

Pertanyaannya, seberapa jujur prediksi itu bisa kita percayai? Faktor apa saja yang mempengaruhi pergerakan harga emas? Adakah berinvestasi emas masih menjanjikan di masa mendatang? Simak paparan para analis yang dirangkum oleh KONTAN berikut ini :

Saring informasi
Anda yang telanjur menanam banyak duit pada emas ketika harganya melambung, jelas sakit perut mendengar prediksi para hedge fund tersebut. Namun, tak perlu panik dulu apalagi putus asa.

Jauh sebelum para hedge fund itu membalik prediksi, forecaster emas kesohor dunia Jim Sinclair memperingkatkan investor terkait gelagat para hedge fund yang hendak menurunkan harga emas. Langkah itu berkaitan dengan strategi pengelolaan selisih (management spread). Yakni, profit per ons troi yang dikantongi ketika emas terjual.

Jadi, para hedge fund itu meraihnya dengan mengambil posisi jual (short) dan beli (long) sekaligus di pasar.

Bank-bank investasi itu selalu memiliki posisi short sangat besar. Mereka berkepentingan mengguyur turun harga emas untuk meraih untung. Di saat yang sama, mereka memperbanyak posisi long di emas dan suatu saat berbalik mengerek naik banderol logam mulia itu.

Moral ceritanya, jangan menelan mentah 100% paparan analis dalam memutuskan langkah investasi. Cerna dengan akal sehat dan tetap menghitung risiko pribadi. Emas tetaplah instrumen investasi yang tidak kalis dari risiko.

Leo menambahkan, agar tidak gelap mata dalam berinvestasi di logam mulia ini, ada baiknya Anda menghitung kisaran harga wajar emas, yakni dengan memperhatikan kenaikan ongkos produksi dan histori pertumbuhan harga.

Dekade 1990-an hingga tahun 2000 awal, harga emas awet di bawah US$ 300 per ons troi.  "Ongkos produksinya tidak jauh dari itu," kata Leo. Menurutnya, sulit dicerna akal sehat jika ongkos produksi emas turut melejit segila harganya saat ini.

Cermati indikator
Meski kerap diayun spekulan yang menumpang isu makroekonomi, mencermati faktor-faktor penggerak harga emas mutlak Anda lakukan jika tak ingin terpeleset licinnya emas.

Selalu ingat kecenderungan emas sebagai safe haven. Harga emas akan cenderung melejit di saat situasi perekonomian tak menentu. Namun, ingatlah, status itu cuma sementara.

Begitu perekonomian pulih, hampir pasti harga emas kembali turun karena para pemodal mengalihkan asetnya ke instrumen berisiko. Jangan sampai Anda kebagian "cuci piring" karena salah memilih timing berinvestasi emas. "Perekonomian AS mulai pulih, indikasi dollar makin menguat," kata Ibrahim, analis Harvest International Futures.

Pergerakan harga emas berkebalikan arah dengan dollar AS. Saat dollar AS menguat, emas biasanya turun. Begitu juga sebaliknya. Meski Eropa masih meriang, emas jauh lebih sensitif terhadap dollar AS dan kebijakan bank sentral Negeri Paman Sam itu.

Tetap menjanjikan
Harga emas kini memang kurang greget, tapi tak berarti investasi Anda sia-sia. Bagi Anda yang sudah membeli di harga mahal, tak perlu gegabah menjual. Simpan saja emas Anda sebagai bagian dari dana darurat. Para analis meyakini, harga emas berpeluang bangkit di masa depan. "Butuh waktu minimal tiga hingga lima tahun bagi emas untuk kembali bangkit," kata Ariston Tjendra, analis Monex Investindo.

Emas sejatinya cuma cocok menjadi investasi jangka panjang! Sedang bagi Anda yang berniat mengoleksi emas, tahan dulu rencana Anda. Ariston menilai, saat ini risiko penurunan harga emas masih besar. Jika emas terpuruk di level US$ 1.520, kejatuhannya akan berlanjut hingga ke  US$ 1.430 per ons troi. Pada perdagangan Selasa (16/4), harga emas di New York sempat nyungsep jauh hingga ke level US$ 1.321 per ons troi!

Ibrahim memprediksi, sepanjang tahun ini harga emas akan berkisar di rentang US$ 1.520– US$ 1.750 per ons troi. Jika ingin memanfaatkan fluktuasi harga, Anda bisa menimbang trading di pasar berjangka. Namun, jika Anda tipikal konservatif, strategi berinvestasi emas seperti nenek kita dahulu, mungkin menjadi pilihan yang lebih menenangkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×